MASA DEMOKRASI TERPIMPIN HINGGA
LAHIRNYA ORDE BARU
I.
DEMOKRASI TERPIMPIN
A.
TERBENTUKNYA DEMOKRASI TERPIMPIN
Masa demokrasi terpimpin (1957-1965) dimulai dengan
tumbangnya demokrasi parlementer atau demokrasi liberal yang ditandai
pengunduran Ali Sastroamidjojo sebagai perdana menteri dan pada 21 februari
1957 presiden Soekarno mengeluarkan konsepsinya yang dikenal dengan “konsepsi
Presiden”. Soekarno mengatakan dan memperingatkan bahwa, jangan meniru bentuk
politik negara lain. Ia menolak gagasan Demokrasi Liberal karena Demokrasi
tersebut merupakan system barat yang tidak berdasarkan sifat dan jiwa bangsa
Indonesia sendiri. Namun penegasan pemberlakuan demokrasi terpimpin
dimulai setelah dibubarkannya badan konstituante dan dikeluarkannya dekrit
presiden 5 Juli 1959.
Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang dipimpin oleh sila
keempat Pancasila. Namun oleh Presiden Soekarno diartikan terpimpin mutlak oleh
presiden (penguasa).Hal yang paling mendasari pembentukan demokrasi terpimpin
adalah kepribadian Soekarno dan militer yang dituangkan dalam suatu konsepsi.
Konsepsi tentang suatu sistem yang asli Indonesia. Namun sistem ini ditolak
oleh Hatta karena dikawatirkan bahwa hal ini akan kembali pada sistem
tradisional yang feodal, otokratis, dan hanya dipakai demi kepentingan raja.
Latar Belakang dikeluarkannya dekrit
Presiden :
Ø
Sistem pemerintahan demokrasi liberal
dengan UUD’1950 tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia.
Ø
Kegagalan konstituante dalam UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota konstituante mulai
bersidang pada 10
November 1956.
Namun pada kenyataannya sampai tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD yang
diharapkan. Sementara, di kalangan masyarakat pendapat-pendapat untuk kembali
kepada UUD '45 semakin kuat.
Ø
Terjadinya gejala separatisme di
dalam negeri yang mengancam stabilitas nasional.
Ø
Konflik antar partai politik di
parlemen yang mengganggu stabilitas nasional.
Ø
Banyaknya partai poltik yang
berjuang untuk kepentingan golongannya.
Ø
Kondisi ekonomi yang yang semakin
memburuk.
Demi
menyelamatkan negara maka presiden melakukan tindakan mengeluarkan keputusan
Presiden RI No. 75/1959 sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Tujuan dikeluarkan dekrit adalah untuk menyelesaikan
masalah negara yang semakin tidak menentu dan untuk menyelamatkan negara
(stabilitas politik dan stabilitas keamanan negara).
Isi Dekrit Presiden tersebut adalah
sebagai berikut:
a)
Pembubaran konstituante
b)
Tidak berlakunya UUDS 1950 dan
berlakunya kembali UUD 1945.
c)
Pembentukan MPRS dan DPAS
Reaksi Rakyat dengan adanya Dekrit
Presiden:
Rakyat, Mahkamah
Agung, KSAD dan seluruh anggota TNI-AD menyambut baik adanya dekrit tersebut.
Kemudian DPR pada tanggal 22 Juli 1945 secara aklamasi menyatakan kesediaannya
untuk melakanakan UUD 1945.
Dampak positif
diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah menyelamatkan Negara dari
krisis politik yang berkepanjangan. UUD 1945 dapat memberikan pedoman yang
jelas bagi kelangsungan suatu Negara.
Dampak negatif
diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah UUD 1945 yang seharusnya menjadi dasar hokum
konstitusional hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka. Dekrit ini juga
memberikan kekuasaan yang besar kepada presiden serta MPR.
Tugas Demokrasi terpimpin :
Mengembalikan
keadaan politik yang tidak stabil seperti pada masa Demokrasi Liberal menjadi
lebih baik dan menguntungkan rakyat. Dan harus menjadi reaksi Demokrasi Liberal
yang telah dianggap gagal.
Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin :
a.
Kebebasan partai dibatasi
b.
Presiden cenderung berkuasa mutlak
sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
c.
Pemerintah berusaha menata kehidupan
politik sesuai dengan UUD 1945.
d.
Dibentuk lembaga-lembaga negara
antara lain MPRS,DPAS, DPRGR dan Front Nasional.
Berbagai Penyimpangan dalam pelaksanaan
Demokrasi terpimpin:
1.
Kedudukan Presiden
Kedudukan
presiden yang seharusnya berada di bawah MPR justru sebaliknya, dan ini
bertentangan dengan UUD 1945.
2.
Pembentukan MPRS
Presiden
juga membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 yang
seharusnya melalui pemilihan umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh
rakyat memiliki anggota-anggota yang duduk di MPR.
3.
Pembubaran DPR dan Pembentukan DPR-GR
Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu tahun 1955 dibubarkan karena DPR menolak
RAPBN tahun 1960 yang diajukan pemerintah.
4.
Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara
5.
Pembentukan Front Nasional
6.
Pembentukan Kabinet Kerja
7.
Keterlibatan PKI dalam Ajaran Nasakom
8.
Adanya ajaran RESOPIM
9.
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
10.
Pentaan Kehidupan Partai Politik
11.
Arah Politik Luar Negeri
B.
PERKEMBANGAN SISTEM POLITIK
DEMOKRASI TERPIMPIN
Dengan
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, konfigurasi politik Indonesia
praktis berubah. Dengan kembalinya ke UUD 1945, kekuasaan eksekutif menjadi
sangat kuat dengan titik beratnya pada Lembaga Kepresidenan.
Pada
Oktober 1956, Soekarno mendesak partai-partai politik untuk menguburkan
demokrasi liberalnya dan mengganti dengan Demokrasi Terpimpin. Kemudian Soekarno
muncul dengan Konsepsi yang dikemukakan pada Februari 1957. Yang berisi usulan
agar Kabinet melibatkan semua partai besar, termasuk Partai Komunis Indonesia
(PKI). Soekarno juga mengusulkan agar dibentuk Dewan Nasional, semacam Dewan
Penasihat.
Usulan
Soekarno tersebut ditentang keras oleh kalangan Masyumi, Partai Sosialisasi
Indonesia (PSI), dan Nahdatul Ulama (NU), tetapi mendapat dukungan dari PKI dan
PNI.
Presiden Soekarno memberikan kesempatan kepada PKI
dalam pemerintahan atau disebut nasakomisasi lembaga-lembaga negara seperti
DPAS, DPRGR, Front Nasional, MPRS, dan MA. PKI sangat lihai dalam memanfaatkan
lembaga-lembaga negara dan orang yang berusaha menghalangi tuntutannya akan
diserang. Kedekatan Presiden dengan PKI benar-benar dimanfaatkan oleh PKI.
Mereka berusaha terlibat dalam segala keputusan Presiden dan berusaha
menguasainya. Contohnya : PKI mendesak Presiden agar Pancasila sebagai alat
pemersatu diganti atau disingkirkan. Karena tidak setuju para wartawan membentuk
BPS ( badan pendukung Soekarnoisme), namun badan ini pada akhirnya dibubarkan
Presiden atas desakan PKI. Demikian pula TNI-AD yang sulit dipengaruhi PKI digemparkan
dengan isu adanya “Dewan Jendral”. PNI sebagai partai terbesar dipecah belah
oleh PKI menjadi dua, yaitu PNI asli dan PNI Osa-Usep karena PKI berhasil
menyusup kedalam PNI. Di bidang kebudayaan PKI berhasil mendirikan LEKRA (
Lembaga Kesenian Rakyat). Kemudian sekelompok budayawan mendirikan MANIKEBU (
Manifes Kebudayaan ), namun atas desakan PKI Manikebu organisasi ini dibubarkan
oleh Pemerintah.
Demokrasi
terpimpin merupakan pembalikan total dari proses politik yang berjalan pada
masa demokrasi parlementer. Adapun karakteristik yang utama dari perpolitikan
pada era Demokrasi Terpimpin adalah:
- Mengaburnya sistem kepartaian.
Kehadiran partai-partai politik hanyalah elemen penopang dari tarik
tambang antara Presiden soekarno, angkatan darat, dan PKI.
- Dengan terbentuknya DPR-GR,
peranan lembaga legislatif dalam sistem politik nasional menjadi sedemikian
lemah, dan proses oleh presiden.
- Basic human rights menjadi
sangat lemah. Soekarno dengan mudah menyingkirkan lawan politik yang menyimpang dari
kebijaksanaannya.
- Masa Demokrasi terpimpin adalah
masa puncak dari semangat anti-kebebasan pers.
- Sentralisasi kekuasaan semakin
dominan dalam proses hubungan antara pemerintah Pusat dengan pemerintah
Daerah
Beberapa
system politik pada masa Demokrasi Terpimpin yang diterapkan di Indonesia:
a.
Politik Konfrontasi Nefo dan Oldefo
Nefo
(New Emerging Forces) merupakan kekuatan baru yang sedang muncul
yaitu negara-negara progresif revolusioner termasuk Indonesia dan Negara
komunis pada umumnya yang anti imperialism dan kolonialisme. Dan membuat ruang
gerak Indonesia di forum internasional menjadi sempit sebab hanya berpedoman ke
negara-negara komunis.
Oldefo
(Old Established Forces) yakni negara-negara
kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim).
b.
Politik Konfrontasi Malaysia
Indonesia
juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini disebabkan karena
pemerintah tidak setuju dengan pembentukan negara federasi Malaysia yang
dianggap sebagai proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan
negara-negara blok Nefo. Kemudian Presiden mengumumkan Dwi Komando Rakyat
(Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964, yang isinya sebagai berikut:
A.
Perhebat Ketahanan Revolusi
Indonesia.
B.
Bantu perjuangan rakyat Malaysia
untuk membebaskan diri dari Nekolim Inggris.
Pelaksanaan
Dwikora dengan mengirimkan sukarelawan ke Malaysia Timur dan Barat menunjukkan
adanya campur tanggan Indonesia pada masalah dalam negeri Malaysia.
c.
Politik Mercusuar
Politik
Mercusuar dijalankan oleh presiden sebab beliau menganggap bahwa Indonesia
merupakan mercusuar yang dapat menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia. Dengan
menyelenggarakan proyek-proyek yang dapat menempatkan Indonesia pada kedudukan
yang terkemuka di kalangan Nefo. Proyek-proyek tersebut membutuhkan biaya yang
sangat besar mencapai milyaran rupiah diantaranya diselenggarakannya GANEFO (Games
of the New Emerging Forces ) yang membutuhkan pembangunan kompleks Olahraga
Senayan.
d.
Politik Gerakan Non-Blok
Gerakan Non blok merupakan wadah
negara-negara yang tidak memasuki blok Barat ataupun blok Timur. Gerakan Non
blok tidak diartikan sebagai netralisme, tetapi aktif sebagai subjek yang ikut
berperan dalam menghadapi peristiwa-peristiwa internasional. Negara-negara Non
blok tidak ingin dijadikan obyek kepentingan dua raksasa dunia dalam pergolakan
politik internasional. Negara-negara ini pun tidak mau diombang-ambingkan dua
ideologi raksasa yang sedang berlomba berebut pengaruh.
Presiden Soekarno merupakan pemrakarsa terbentuknya
GNB (gerakan non blok). Keterlibatan Indonesia dalam GNB
menunjukkan bahwa kehidupan politik Indonesia di dunia sudah cukup maju. Bagi RI,
GNB merupakan pancaran dan revitalisasi dari UUD1945 baik dalam skala nasional
dan internasional.
e.
Keluar
Dari PBB
Pada
tanggal 7 Januari 1965, Indonesia keluar dari keanggotaan PBB sebab Malaysia
diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
C.
PERKEMBANGAN SISTEM EKONOMI
DEMOKRASI TERPIMPIN
Langkah yang ditempuh pemerintah untuk
menunjang pembangunan ekonomi adalah sebagai berikut:
1)
Membentuk Badan Perancang
Pembangunan Nasional (Bappenas)
Pada tahun
1963 Dewan Perancang Nasional (Depernas) diganti dengan nama Badan Perancang
Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno. Yang
berugas menyusun rencana jangka panjang, mengawasi pembangunan dan menyiapkan
hasil kerja mandataris untuk MPRS.
2. Penurunan
Nilai Uang (Devaluasi)
Untuk
mempertahankan inflasi dan mengurangi jumlah uang yang beredar di
masyarakat, pada tanggal 25 Agustus 1959
pemerintah mengumumkan keputusannya devaluasi yaitu sebagai berikut:
ü
Uang kertas pecahan bernilai Rp. 500
menjadi Rp. 50
ü
Uang kertas pecahan bernilai Rp.
1.000 dihapuskan.
ü
Pembekuan semua simpanan di bank
yang melebihi Rp. 25.000
Pemotongan nilai uang tetap saja tidak membuat
dampak positif bagi rakyat.
3. Kenaikan
laju inflasi
Kemerosotan
nilai rupiah membuat kesejahteraan rakyat dan pembangunan mengalami kegagalan.
Anggaran belanja mengalami deficit yang semakin besar. Bahkan pinjaman luar
negeripun tidak mampu mengatasinya. Keadaan defisit negara yang semakin
meningkat ini diakhiri pemerintah dengan pencetakan uang baru tanpa perhitungan
matang. Sehingga menambah berat angka inflasi. Salah satu penyebab inflasi adalah
penyelenggaraan proyek-proyek mercusuar seperti GANEFO dan CONEFO yang
memperbesar pengeluaran pemerintah.
Kemudian
pada 13 Desember 1965 pemerintah mengambil langkah devaluasi dengan menjadikan
uang senilai Rp. 1000 menjadi Rp. 1. Namun tindakan moneter pemerintah untuk
menekan angka inflasi malah menyebabkan meningkatnya angka inflasi.
4. Dikeluarkannya Deklarasi
Ekonomi (Dekon)
Kegagalan peraturan
pemerintah untuk export drive, dan pembangunan yang tidak dapat terlaksana
dengan baik karena sulit memperoleh modal dan tenaga kerja dari luar negeri,
maka dikeluarkanlah DEKON (Deklarasi Ekonomi) pada tanggal 28 Maret 1963 yang
menjadi strategi umum revolusi Indonesia. Yang bertjuan untuk menciptakan
ekonomi yang bersifat nasional, demokratis, dan bebas dari sisa-sisa
imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara
terpimpin.
Namun
dengan ini kesulitan ekonomi semakin mencolok, tampak dengan adanya kenaikan
harga barang mencapai 400 % pada tahun 1961-1962 yang membuat beban hidup
rakyat semakin berat. Ditambah lagi konfrontasi
dengan Malaysia dan negara barat yang semakin memperparah kemerosotan ekonomi
Indonesia.
Sistem
Ekonomi Gerakan Benteng
Sistem ekonomi Gerakan Benteng
merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi
yang berat sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir yang bertujuan
mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi nasional, dengan cara mengembangkan
pengusaha dikalangan pribumi. Tetepi program ini tidak dapat berjalan dengan
baik, karena pengusha pribumi kurang mandiri dan tidak bisa bersing dengan
pengusaha non pribumi.
Dampaknya beban defisit anggaran
Belanja yang semakin meningkat pada 1952 sebanyak 3 Miliar rupiah ditambah sisa
defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7 miliar rupiah.
Sistem Ekonomi Ali-Baba
Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan sebagai
pengusaha non pribumi khususnya Cina. Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha pribumi
diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada
tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf.
Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional.
Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan
perusahaan-perusahaan asing yang ada. Namun tetap saja program ini tidak dapat
berjalan dengan baik sebab pengusaha pribumi yang kurang pengalaman sehingga
tidak sanggup bersaing dalam pasar bebas.
D.
PERJUANGAN MEMBEBASKAN IRIAN BARAT
Latar Belakang Pembebasan Irian Barat
Pengembalian Irian Barat menjadi
masalah penting bagi pemerintah Indonesia sejak tahun 1950, yaitu satu tahun
setelah penandatanganan KMB. Salah satu isi perjanjian tersebut adalah Belanda
akan menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia satu tahun setelah pengakuan
kedaulatan. Namun Keputusan tersebut tidak
pernah ditepati oleh Belanda. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia berjuang
dengan segala cara untuk merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda.
Ada 3 bentuk perjuangan dalam rangka
pembebesan Irian Barat : Diplomasi, Konfrontasi Politik dan Ekonomi serta
Konfrontasi Militer.
1. Perjuangan Diplomasi: Pendekatan Diplomasi
Perjuangan tersebut dilakukan dengan
perundingan. Jalan diplomasi ini sudah dimulai sejak kabinet Natsir (1950)
yang selanjutnya dijadikan program oleh setiap kabinet. Meskipun selalu
mengalami kegagalan sebab Belanda masih menguasai Irian Barat bahkan secara
sepihak memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Kerajaan Belanda.
Perjuangan secara diplomasi,yaitu
A. Perundingan Bilateral
Indonesia Belanda
Pada tanggal 24 Maret 1950 diselenggarakan
Konferensi Tingkat Menteri Uni Belanda - Indonesia. Konferensi memutuskan untuk
membentuk suatu komisi yang anggotanya wakil-wakil Indonesia dan Belanda untuk
menyelidiki masalah Irian Barat. Hasil kerja Komisi ini harus dilaporkan dalam
Konferensi Tingkat Menteri II di Den Haag pada bulan Desember 1950. Ternyata
pembicaraan dalam tingkat ini tidak menghasilkan penyelesaian masalah Irian
Barat.
Berikut ini beberapa langkah diplomasi dalam
penyelesaian Irian Barat:
a. Tanggal 4 Desember 1950 diadakan
konferensi Uni Indonesia Belanda. Dalam konferensi itu Indonesia mengusulkan
agar Belanda menyerahkan Irian Barat secara de jure. Namun ditolak oleh Belanda.
b. Pada bulan Desember 1951 diadakan
perundingan bilateral antara Indonesia dan Belanda. Perundingan ini membahas
pembatalan uni dan masuknya Irian Barat ke wilayah NKRI, namun gagal.
c. Pada bulan September 1952,
Indonesia mengirim nota politik tentang perundingan Indonesia Belanda mengenai
Irian Barat, namun gagal
Pertemuan Bilateral
Indonesia Belanda tersebut hasilnya tetap sama, yaitu Belanda enggan
mengembalikan Irian Barat kepada Indonesia sesuai hasil KMB.
B. Diplomasi
dalam forum PBB
Sejak tahun 1953 usaha melalui forum PBB dilakukan
oleh Indonesia. Masalah Irian barat setiap tahun selalu diusulkan untuk dibahas
dalam Sidang Umum PBB. Sampai dengan Desember 1957, usaha malalui forum PBB itu
juga tidak berhasil. Sebabnya dalam pemungutan suara, pendukung Indonesia tidak
mancapai 2/3 jumlah suara di Sidang Umum PBB. Indonesia secara bertrurut turut mengajukan lagi sengketa Irian Barat dalam
Majelis Umum X tahun 1955, Majelis Umum XI tahun 1956, dan Majelis Umum XII
tahun 1957. Tetapi hasil pemungutan suara yang diperoleh tidak dapat memperoleh
2/3 suara yang diperlukan. Mereka menganggap masalah Irian Barat
merupakan masalah intern antara Indonesia-Belanda. Negara-negara barat masih
tetap mendukung posisi Belanda.
C. Dukungan Negara Negara Asia Afrika (KAA)
Gagal melalui cara
bilateral, Indonesia juga menempuh jalur diplomasi secara regional dengan
mencari dukungan dari negara-negara Asia Afrika. Konferensi Asia Afrika yang
diadakan di Indonesia tahun 1955 dan dihadiri oleh 29 negara-negara di kawasan Asia
Afrika, secara bulat mendukung upaya bangsa Indonesia untuk memperoleh kembali
Irian sebagai wilayah yang sah dari RI.
Namun suara bangsa-bangsa
Asia Afrika di dalam forum PBB tetap tidak dapat menarik dukungan internasional
dalam sidang Majelis Umum PBB.
2. Perjuangan
Konfrontasi Politik, Ekonomi dan Militer
Karena
perjuangan diplomasi baik bilateral maupun dalam forum PBB belum menunjukkan
hasil sehingga Indonesia meningkatkan perjuangannya dalam bentuk konfrontasi. Sejak tahun 1957 Indonesia melancarkan
aksi konfrontasi dalam upaya pembebasan Irian Barat. Konfrontasi
dilakukan tetapi tetap saja melanjutkan diplomasi dalam sidang-sidang PBB.
Konfrontasi yang ditempuh yaitu konfrontasi politik dan ekonomi, serta
konfrontasi militer. Konfrontasi militer terpaksa dilakukan setelah Belanda
tidak mau berkompromi dengan Indonesia.
a)
Konfrontasi
ekonomi
Konfrontasi yang pertama ditempuh
adalah konfrontasi bidang ekonomi. Bentuk konfrontasi ekonomi dilakukan dengan
tindakan-tindakan berikut:
1) Nasionalisasi
de javasche Bank menjadi Bank Indonesia tahun 1951.
2)
Pemerintah Indonesia melarang
maskapai penerbangan Belanda (KLM) melakukan penerbangan dan pendaratan di
wilayah Indonesia.
3)
Pemerintah Indonesia melarang
beredarnya terbitan berbahasa Belanda.
4)
Pemogokan buruh secara total pada
perusahan-perusahaan Belanda di Indonesia yang memuncak pada tanggal 2 Desember
1957.
5) Semua
perwakilan konsuler Belanda di Indonesia dihentikan mulai 5 Desember 1957 Pada
saat itu juga dilakukan aksi pengambilalihan atau nasionalisasi secara sepihak
terhadap perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia. Perusahaan-perusahaan
tersebut antara lain Netherlandsche Handel Maatscappij (NHM) menjadi Bank
Dagang Negara, Bank Escompto, dan percetakan de Unie.
Tindakan
Indonesia yang mengambil alih seluruh modal dan perusahaan Belanda menimbulkan
kemarahan Belanda, bahkan negara-negara Barat sangat terkejut atas tindakan
Indonesia tersebut. Akibatnya hubungan Indonesia-Belanda semakin tegang, bahkan
PBB tidak lagi mencantumkan masalah Irian Barat dalam agenda sidangnya sejak
tahun 1958.
b)
Konfrontasi Politik
Di samping
melalui konfrontasi ekonomi, pemerintah RI juga melakukan konfrontasi politik.
Pada tahun 1956 secara sepihak Indonesia membatalkan hasil KMB yang dikukuhkan
dalam UU No 13 tahun 1956. Kemudian untuk mengesahkan kekuasaannya atas Irian
Barat, maka pada tanggal 17 Agustus 1956 pemerintah Indonesia membentuk
Provinsi Irian Barat dengan ibukotanya Soa Siu. Wilayahnya meliputi wilayah
yang diduduki Belanda serta daerah Tidore, Oba, Weda, Patani, dan Wasile.
Gubernurnya yang pertama adalah Zainal Abidin Syah. Selanjutnya dibentuk Partai
Persatuan Cenderawasih dengan tujuan untuk dapat segera menggabungkan wilayah
Irian Barat ke dalam RI.
Pada
tanggal 4 Januari 1958 pemerintah membentuk Front Nasional Pembebasan Irian
Barat (FNPIB). Tujuannya untuk mengerahkan massa dalam upaya pembebasan Irian
Barat. Ketegangan Indonesia-Belanda makin memuncak ketika Indonesia memutuskan
hubungan diplomatik dengan Belanda pada tanggal 17 Agustus 1960.
c) Konfrontasi
Militer dan Konfrontasi Total
Secara politik Irian Barat belum berhasil,untuk itu
Indonesia mencari alternatif lain, yakni perjuangan dengan konfrontasi
bersenjata.
1. Perjuangan Melalui Trikora
Belanda
menunjukkan keberanian dan kekuatannya dengan melakukan langkah-langkah sebagai
berikut:
a.
Membentuk
Negara Boneka Papuadengan lagu dan bendera Papua.
b.
Mendatangkan
bantuan dan mengirimkan pasukan dengan kapal perangnya ke perairan Irian,
antara lain kapal Karel Doorman.
c.
memperkuat
angkatan perang Belanda di Irian Barat.
Tanggal 19
Desember 1961 melalui rapat umum di Yogyakarta, Presiden Soekarno Mencanangkan
TRIKORA (Tri Komanda Rakayat), berikut isi TRIKORA :
1.
Gagalkan
pembentukan Negara papua.
2.
Kibarkan
Sang merah putih di Irian Barat.
3.
Bersiaplah
untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah air.
2.Operasi Militer dibawah Komando Mandala
Sebagai tindak lanjut program TRIKORA,Presiden
Soekarno membentuk Mandala pembebasan Irian Barat. Yang dibentuk pada tanggal 2
Januari 1962 yang dipimpin oleh Mayor Jendral Suharto.Pusat dari komanda
mandala berada di Ujungpandang untuk melaksanan Trikora. Sebagai panglima komando adalah
Brigjend Soeharto yang kermudian pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor Jenderal.
Pada
tahapan persiapan dan infiltrasi telah terjadi insiden pertempuran di Laut Aru
pada tanggal 15 Januari 1962.Pada waktu itu kapal RI motor terpedo boat Macan
Tutul yang sedang patroli diserang oleh Belanda.Terjadilah pertempuran akan
tetapi kapal RI Macan Tutul terbakar dan tenggelam. Dalam insiden ini
meniggalah Komodor Yos Sudarso dan Kapten Laut Wiratno.
Dalam rangka konfrontasi, pemerintah mengadakan
operasi militer. Operasi militer yang dilaksanakan antara lain Operasi Serigala
(di Sorong dan Teminabuan), Operasi Naga (di Merauke), Operasi Banteng Ketaton
(di Fak-Fak dan Kaimana), dan Operasi Jaya Wijaya. Operasi yang terakhir
dilaksanakan adalah Operasi Wisnumurti. Operasi ini dilaksanakan saat
penyerahan Irian Barat kepada RI tanggal 1 Mei 1963. Pada tanggal yang sama
Komando Mandala juga secara resmi dibubarkan.
3. Rencana Bunker
Melihat pasukan Indonesia itu, Belanda mulai
khawatir dan kewalahan. Dunia Internasional mangetahui dan mulai khawatir
Amerika serikat mulai menekan Belanda agar mau beruding. Ellswoth Bunker,
seorang diplomat AS ditunjuk sebagai penengah. Bunker selanjutnya mengusulka
pokok-pokok penyalsaia masalah Irian Barat secara damai.
Bunker
mengajukan usul yang dikenal dengan Rencana Bunker, yaitu :
1)
Pemerintah Irian Barat harus diserahkan
kepada Republik Indonesia.
2)
Setelah sekian tahun, rakyat Irian
Barat harus diberi kesempatan untuk menentukan pendapat apakah tetap dalam
negara Republik Indonesia atau memisahkan diri.
3)
Pelaksanaan penyelesaian masalah
Irian Barat akan selesai dalam jangka waktu dua tahun.
4)
Guna menghindari bentrokan fisik
antara pihak yang bersengketa, diadakan pemerintah peralihan di bawah
pengawasan PBB selama satu tahun.
Tapi Belanda tetap tidak ingin Irian Barat menjadi
bagian dari Indonesia. Keinginan Belanda tersebut tampak jelas ketika tanpa
persetujuan PBB, Belanda mendirikan negara Papua, lengkap dengan bendera dan
lagu kebangsaan.
4. Persetujuan New York [ New York Agreement
]
Isi Pokok persetujuan :
1.
Paling
lambat 1 Oktober 1962 pemerintahan sementara PBB (UNTEA) akan menerima serah
terima pemerintahan dari tangan Belanda dan sejak saat itu bendera merah putih
diperbolehkan berkibar di Irian Barat
2.
Pada
tanggal 31 Desember 11962 bendera merah putih berkibar disamping bendera PBB.
3.
Pemulangan
anggota anggota sipil dan militer Belanda sudah harus selesai tanggal 1 Mei
1963.
4.
Selambat
lambatnya tanggal 1 Mei 1963 pemerintah RI secara resmi menerima penyerahan
pemerintahan Irian Barat dari tangan PBB.
5.
Indonesia
harus menerima kewajiban untuk mengadakan Penentuan Pendapat rakyat di Irian
Barat, paling lambat sebelum akhir tahun 1969.
Sesuai dengan perjanjian New York, pada
tanggal 1 Mei 1963 berlangsung upacara serah terima Irian Barat dari UNTEA
kepada pemerintah RI. Upacara berlangsung di Hollandia (Jayapura). Dalam
peristiwa itu bendera PBB diturunkan dan berkibarlah merah putih yang menandai
resminya Irian Barat menjadi propinsi ke 26. Nama Irian Barat diubah menjadi
Irian Jaya ( sekarang Papua ).
5.
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)
Sebagai salah satu kewajiban pemerintah
Republik Indonesia menurut persetujuan New York, adalah pemerintah RI harus
mengadakan penentuan pendapat rakyat di Irian Barat paling lambat akhir tahun
1969. pepera ini untuk menentukan apakah rakyat Irian Barat memilih, ikut RI
atau merdeka sendiri. Penentuan pendapat Rakyat akhirnya dilaksanakan pada
tanggal 24 Maret sampai dengan 4 Agustus 1969.Mereka diberi dua opsi, yaitu :
bergabung dengan RI atau merdeka sendiri.
Setelah Pepera dilaksanakan, Dewan Musyawarah
Pepera mengumumkan bahwa rakyat Irian dengan suara bulat memutuskan Irian Jaya
tetap merupakan bagian dari Republik Indoenesia. Hasil ini dibawa Duta Besar Ortiz
Sanz untuk dilaporkan dalam sidang umum PBB ke 24 bulan Nopember 1969.
Sejak saat itu secara de yure Irian Jaya sah menjadi milik RI.
E. AKSI G30S/PKI
1. PKI Melaksanakan Sabotase, Aksi Sepihak dan Aksi Teror
1) Tindakan Sabotase terhadap Transportrasis Umum Kereta Api
oleh Serikat Buruh Kereta Api
Tindakan sabotase yang dilakukan kaum
Komunis terhadap sarana-sarana penting Pemerintah mulai terlihat sejak bulan
Januari 1964. Tanggal 6 Februari 1964, kasus tabrakan antara dua rangkaian
Kereta Api terjadi di Kallyasa, Sala,
Jawa Tengah. Beberapa kasus lepas dan larinya gerbong-gerbong dari rangkaian
lokomotifnya di Tanah Abang tanggal 18 agustus 1964, di Bandung tanggal
31 Agustus 1964, Tasikmalaya tanggal 11 Oktober 1964. Seminggu kemudian
tanggal 18 Oktober 1964 di daerah yang sama yaitu Tasikmalaya terjadi kasus
kecelakaan yang menimpa 20 rangkaian gerbong KA yang mengangkut peralatan
Militer.
2) Aksi-Aksi Sepihak BTI (Barisan Tani Indonesia)
Pada tanggal 23 Mei 1964, ketua CC
PKI D.N Aidit serta 58 tokoh PKI termasuk didalamnya Himpunan Sarjana Indonesia
(HSI) yang terpengaruh oleh PKI mengadakan gerakan Turba (Turun Kebawah). Untuk
dapat mempengaruhi para petani, PKI
berpura-pura membantu mereka dengan cara melakukan kampanye anti “Tujuh Setan Desa. PKI dengan gencar
melakukan aksi massa dan aksi sepihak secara sistematis dan terencana, aksinya
antara lain:
-
Aksi
Massa BTI di Jawa Tengah
-
Aksi
Massa BTI di Jawa Barat
-
Aksi
Massa BTI di Jawa Timur
3) Aksi-aksi Teror
a) Peristiwa Kanigaro Kediri
Tanggal 13 Januari 1965 sekitar pukul
04.30 massa anggota PKI yang di pimpin oleh Ketua Pengurus Cabang Pemuda Rakyat
Daerah Kediri, Soerdjadi, mengadakan teror dengan pemukulan dan penganiayaan terhadap para Kyai,Imam
masjid, dan Pelajar Islam Indoneisa (PII) serta merusak rumah ibadah bahkan
menginjak-injak kitab suci Al-Qur’an.
b)
Aksi
Massa dan Demonstrasi Anti Amerika
Awal Desember 1964 sejumlah massa
pendukung PKI mengadakan demonstrasi untuk memprotes kehadiran dan kegiatan
Kantor Penerangan AS, United States Information Services(USIS) di
seluruh indonesia.
2. Aksi Fitnah Terhadap Pimpinan TNI-AD tahun
1965
·
Isu Dewan Jendral
·
Isu Dokumen Gilchrist
3. Aksi Bersenjata Gerakan 30 September Pada
Awal Oktober 1965
- Pembagian Tugas Pasukan
Penculik
1)
Pasukan
Pasopati
Tugas Pasukan Pasopati adalah
menculik para Jendral Pimpinan TNI-AD dan membawanya ke Lubang Buaya. Pasukan
Pasopati terdiri atas satu Batalyon Infanteri (minus) dari Brigare Kolonel Inf.
A. Latief, satu Kompi Cakrabirawa dari Batalyon pimpinan Letkol Inf. Untung.
Satu pleton dari batalyon infantri pimpinan Mayor Inf. Sukirno/kapten inf.
Kontjoro, dan pleton-pleton sukwan PKI.
a) Pelda Djahurup ditugasi menculik Jendral TNI A.H Nasution.
b) Peltu Mukidjan ditugasi menculik Letjen
TNI A.
c) Parman di bawah pimpinan Serma Satar ditugasi
menculik Mayjend TNI S.
d) Serda sulaiman ditugasi menculik Mayjend TNI Soeprapto.
e) Serma Bungkus ditugasi menculik Mayjend TNI Haryono MT.
f) Serma Sarono ditugasi menculik
Brigjend TNI Sutojo S.
g) Serda Sukardjo ditugasi menculik
Brigjend TNI D.I Pandjaitan.
2)
Pasukan
Bimasakti
Pasukan Bimasakti terdiri atas satu
Batalyon Infanteri di pimpin oleh Mayor Inf. Bambang Supeno, dan satu batalyon
Infanteri yang dipimpinn oleh Kapten Inf. Kuncoro, empat Batalyon sukwan PKI,
dan satu Kompi Infanteri pimpinan Kapten Inf. Suradi berasal dari Briginf
pimpinan Kol.Inf A. Latief. Pasukan ini bertugas menguasai kota Jakarta.
3)
Pasukan
Gatotkaca
Pasukan gatotkaca terdiri atas satu
batalyon pimpinan Mayor Uadara Soejono dan pasukan sukwan dan Sukawati PKI.
Satuan bertugas menampung tawanan hasil penculikan dan melakukan pembunuhan
serta menguburkan korban-korban hasil penculikan.
- Aksi
Penculikan
1) Usaha Penculikan Terhadap
Jendral TNI A.H. Nasution
1 Oktober 1965 sekitar pukul 03.00
pasukan yang dipimpin Pelda Djahurub menuju ke kediaman Jendral A.H Nasution.
Namun dalam peristiwa tersebut Jendral A.H. Nasution berhasil melarikan diri
lewat pintu samping. Tembakan pasukan penculik diarahkan langsung ke daun pintu
kamar, sehingga ketika pintu terbuka Ade Irma Suryani putri bungsunya yang
berumur 5 tahun oleh pengasuhnnya dilarikan keluar. Sehingga seorang penculik
melepaskan tembakan otomatis dan mengenai punggung Ade Irma Suryani.
2) Penculikan Terhadap Letjend
TNI A. Yani
Penculikan Men/Pangad Letjend TNI A.
Yani terjadi pukul 03.00 tanggal 1 Oktober 1965. Pasukan penculik menuju
kekediaman Letjend A.Yani dan mengetuk pintu. Putera beliau yang berumur 11
tahun, segera membagunkan ayahnya.
Mereka berkata bahwa beliau dipanggil Presiden. Tapi ketika beliau hendak
mandi, salah seorang penculik menodongkan pistol dan seketika beliau
memukulnya. Kemudian beliaupun ditembak dengan senjata Thompson sehingga tujuh
butir peluru menembus tubuhnya . Praka Wagimin menyeret Letjend A. Yani yang
berlumuran darah keluar dari kediamannya dan dimasukkan kedalam kendaraan, dan
dibawa ke Lubang Buaya.
3) Penculikan Terhadap Mayjend
TNI Soeprapto
Mayjend TNI Soeprapto diculik pada Tanggal
1 Oktober 1965 pukul 03.00. Serda Sulaiman mengatakan bahwa Mayjend Soeprapto
diperintahkan untuk menghadap presiden dengan segera. Oleh beliau diperintahkan
untuk menunggu karena akan berganti pakaian. Para penculik melarangnya dengan
kasar, bahkan mendorong serta memaksanya keluar. Beberapa orang penculik menaikkannnya
dengan paksa ke dalam sebuah truk. Kemudian mereka kembali menuju ke Lubang
Buaya.
4) Penculikan Terhadap Mayjend
S. Parman
Mayjend TNI S. Parman diculik Tanggal
1 Oktober 1965 pukul 03.00. pasukan penculik ini mengatakan bahwa beliau
dipanggil oleh Presiden. Tapi karena tingkah laku mereka yang kasar Ibu S.
Parman mulai curiga. Mayjend S. Parman keluar, dan beliau meminta kepada
istrinya agar menelpon letjend A. Yani, untuk melaporkan kejadian
tersebut. Ternayata kabel telepone telah diputus. Mayjend S. Parman dibawa ke Lubang Buaya.
5) Penculikan Terhadap Mayjend
TNI Haryono MT
Mayjend TNI Haryono MT diculik 1 Oktober 1965 pukul 03.00. Serma Bungkus
memberi tahu bahwa Mayjend Haryono dipanggil oleh Presiden. Namun
perlahan-lahan beliau curiga bersembunyi dikamar sebelah bersama anak-anaknya.
Kemudian mereka melepaskan tembakan ke pintu yang terkunci. Pada saat hendak
merebut senjata beliau ditusuk beberapa kali dengan sangkur, sehingga beliau
roboh bermandikan darah. Dan kemudian diseret keluar untuk dibawa ke lubang
buaya.
6) Penculikan Terhadap Brigjend
TNI Sutojo S
Brigjen TNI Sutojo diculik 1 Oktober
1965 pukul 03.00. Penculik mengatakan kepada Brigjend Sutojo, bahwa beliau di
panggil presiden, kemudin para penculik membawa beliau dengan paksa keluar
rumah dan membwanya ke Lubang Buaya.
7) Penculikan Terhadap Brigjend
TNI D.I Pandjaitan
Brigjend di pimpin oleh Serda
Sukardjo diculik 1 Oktober 1965 pukul 03.00. para penculik menembak kedua
keponkan beliau yang saat itu sedang tidur dilantai atas. Salah seorang
diatanratanya tewas, setelah itu para penculik berteriak memanggil Brigjend D.I
Panjaitan agar keluar untuk menghadap presiden. Setiba di halaman, beliau
dipukul dengan popor senjata hingga jatuh. Pada saat itu juga dua orang anggota
penculik yang lain menembaknya dengan senjata otomatis dan beliau gugur saat
itu juga. Seorang anggota polisi yang
sedang patroli, mendatangi tempat kejadian karena mendengar suara senapan.
Setibanya ditempat itu ia langsung ditangkap oleh para penculik dan ikut dibawa
pula ke Lubang Buaya.
- Penyiksaan
dan Pembunuhan
Pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar
pukul 05.30 pasukan Gatotkaca dibawah pimpinan Mayor Udara Gathut Soekrisno
menerima hasil penculikan dari pasukan Pasopati. Sementara itu sejak pukul
05.00 para Sukuan PKI yang diantarany terdapat para Sukwati Gerwani, menunggu
datangnya kendaraan yang membawa para korban penculikan di dekat sebuah sumur
tua dibasis gerakan mereka daerah Lubang Buaya. Korban penculikan terdiri atas
empat orang yang matanya ditutup dengan kain merah dan tangannya diikat
kebelakang, serta tiga orang lainnya dalam keadaan meninggal.
Keempat orang yang masih hidup itu
disiksa hingga akhirnya mninggal. Selanjutnya sukwan-sukwan PKI melemparkan
korban itu ke dalam sumur. Sumur itu ditimbun dengan sampah dan tanah yang
kemudian diatasnya ditanami pohon pisang untuk menghilangkan jejak.
3.
Kekacaubalauan Pengendalian Oleh CC PKI
Sesuai dengan petunjuk D.N. Aidit
selaku pimpinan tertinggi G 30 S, setelah berakhirnya siaran warta berita RRI
Jakarta pukul 07.00 pada tanggal 1 Oktober 1965 telah disiarkan pengumuman
pertama tentang adanya G 30 S. Sesudah pengumuman pertamaa berhasil disiarkan,
pada sekitar pukul 14.00 Letkol Inf Untung mengumumkan lewar RRI Jakarta :
- Dekrit
No. I tentang pembentukan dewan Revolusi Indonesia;
- Keputusan
No. I tentang susunan Dewan Revolusi Indonesia; dan
- Keputusan
No. 2 tentang penurunan dan kenaikan pangkat.
Nama-nama yang tecantum dalam susunan
Dewan Revolusi Indonesia tersebut merupakan gabungan antara nama tokoh-tokoh
PKI dan nama tokoh-tokoh yang bukan pendukung PKI. Nama tokoh yang bukan
pendukung PKI pada dasarnya merupakan manipulasi PKI, karena yang bersangkutan
sama sekali tidak tahu menahu dan bahkan tidak menyetujui G 30 S tersebut.
Setelah Brigjend TNI soepardjo
melaporkan kepada Persiden bahwa ia dan kawan-kawan telah mengambil tidakan
terhadap perwira tinggi Peimpinan TNI-AD, presiden kemudian mengeluarkan perintah yang
intinya agar menghentikan gerakan dan jangan ada pertumpahan darah. Mengingat
perintah tersebut tidak menguntungkan G30S, maka di putuskan untuk tidak
mematuhi perintah Presiden tersebut. Situasi semakin tidak menguntungkan untuk G30S
karena pasukan Kostrad dan Resimen Para Komando Angkatan Darat(RPKAD) telah
bergerak untuk menguasai pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, maka mereka pun
mundur ke Pondok Gede. Kemudian pada pukul 19.00 MayJend TNI Soeharto
menyampaikan pidato radio, yang intinya menjelaskan bahwa 30 September (G30S)
adalah kegiatan pengkhianatan terhadap Revolusi.
PENUMPASAN G30S/PKI DAN TUNTUTAN MASSA DALAM
PEMBUBARANNYA
1. TINDAKAAN KOSTRAD
- Operasi
Penumpasan
Pada hari Jum’at tanggal 1 Oktober
1965 pagi hari, setelah memperoleh informasi terjadinya penculikan dan
pembunuhan terhadap pimpinan TNI-AD , pangkostrad Mayjend TNI Soeharto segera
mengumpulkan staffnya di markas Kostrad, untuk mempelajari situasi. Tampilnya Letkol
Inf. Untung, seorang perwira menengah TNI-AD yang pernah berdinas dalam jajaran
Kodam VII/Doponegoro dan kemudian menjadi anggota PKI, maka Pangkostrad Mayjend
TNI Soeharto yakin bahwa Gerakan 30 September adalah gerakan PKI yang bertujuan
menggulingkan dan merebut kekuasan dari Pemerintah RI.
Berdasarkan keyakinan itu,
Pangkostrad Mayjend TNI Soeharto kemudian menyusun rencana untuk menumpas gerakan G30S.
Beliau berhasil menyadarkan
pasukan-pasukan G30S dan juga berhasil merebut RRI Jakarta dan Kantor Besar
Telkom oleh pasukan RPKAD dibawah pimpinan Kolonel Inf. Sarwo Edhie Wibowo.
Setelah itu Mayjen TNI Soeharto menyampaikan pidato radio, neliau menjelaskan
bahwa G 30 S telah melakukan penculikan terhadap beberapa Perwira Tinggi
TNI-AD, sedangkan Presiden dan Menko Hankam/Kasab Jendral TNI A.H. Nasution
dalam keadaan aman. Situasi Ibu Kota Negara telah dikuasai kembali dan telah
dipersiapkan langkah-langkah untuk menumpas G 30 S tersebut.
- Ditemukannya
Tempat Penguburan Para Korban Penculikan di Lubang Buaya
Sukitman (polisi yang ditangkap pasukan
penculik pada saat dilakukannya penculikan terhadap Brigjen TNI D.I. Panjaitan,
yang berhasil melarikan diri) melaporkan kepada pasukan keamanan bahwa ia
menyaksikan sendiri penyiksaan dan membunuhan yang dilakukan terhadap korban
penculikan. Atas bantuan Sukitman tanggal 3 Oktober 1965 ditemukanlah sumur tua
di sebuah perkebunan karet di daerah lubang buaya yang ditimbun tanah dan
sampah tempat penguburan jenazah. Penggalian dilakukan oleh anggota kesatuan
Intai para Ampibi (KIPAM) dari KKU AD ( Marinir) bersama-sama anggota RPKAD. Dalam sumur tua tersebut ditemukan jenazah
semua korban penculikan yang berjumlah tujuh orang, Letjen TNI Ahmad yani,
Mayjen TNI Soeprapto, Mayjen TNI S. Parman, mayjen TNI Haryono M. T, Brigjen
TNI D. I Panjaitan, Brigjen TNI Soetojo S, serta Lettu Czi Pierre Andreas
Teendean. Dengan telah ditemukannya seluruh korban penculikan dalam keadaan
meninggal, Soeharto kemudian menyiarkan pidato tentang ditemukannya
jenazah-jenazah tersebut. Ketujuh jenazah tersebut dikubur dalam sebuah sumur
tua di ddaerah Lubang Buaya, tempat pelatihan sukwan-sukwati pemuda Rakyat dan
Gerwani.
Para korban pembunuhan G 30 S
kemudian disemayamkan diaula markas Besar TNI AD jakarta. Tanggal 5 Oktober
1965 dalam upacara kebesaran militer jenazah para putra terbaik bangsa
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jendral TNI A.H Nasution bertindak
sebagai inspektur upacara. Dalamnya, Menko Hankam/Kasab penuh kesedihan
menyatakan bahwa hari angkatan bersenjata tanggal 5 Oktober adalah hari yang selalu
gemilang, tetapi pada hari itu telah dihinakan oleh pengkhianatan dan
penganiayaan para perwira tinggi TNI AD.
2. TUNTUTAN MASSA DALAM PEMBUBARAN PKI
1. Reaksi Partai
Politik dan organisasi Massa
Setelah mendengar siaran langsung
pidato Soeharto tentang ditemukannya para korban penculikan pada tanggal 4
Oktober 1965 dan siaran upacara pemakaman para pahlawan Revolusi tanggal 5
Oktober 1965, keluarlah pernyataan-pernyataan dari ormas sebagai berikut:
- Mengucap
syukur atas terhindarnya presiden Soekarno dari bahaya;
- Tetap
berdiri penuh di belakang presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi
Bung Karno;
- Mengutuk
pemberontakan dan pengkhianatan G 30 S
2.
Tindakan Spontan Massa terhadap PKI
Pada tanggal 8 Oktober 1965 mulai
terjadi aksi-aksi massa menyerbu gedung-gedung kantor PKI serta ormas-ormasnya.
Aksi-aksi massa tersebut terjadi diberbagai daerah dan tempat-tempat dimana
terdapat basis-basis kekuatan PKI disitu terjadi suasana tegang dan konflik
fisik. Di taman Suropati Jakarta, partai politik dan berbagai organisasi massa mendesak Presiden untuk membubarkan PKI
beserta ormas pendukungnya, membersihkan kabinet, DPR-GR, MPRS, serta
lembaga-lembaga negara lainnya dari unsur-unsur G 30 S/PKI. 2 Oktober
1965 berbagai partai politik yaitu NU, IPKI, Partai Katolik, Parkindo, PSII,
unsur-unsur perti, dan unsur-unsur PNI, serta ormas-ormas anti komunis seperti
Muhamadiyah, SOSKI, dan lain-lain membentuk dan begabung menjadi fron
Pancasila. Para Mahasiswa membentuk Gerakan Mahasiswa yang terpadu dengan nama
“ Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia” (KAMI). Sejak saat itulah terbentuk
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia yang kemudian diikuti oleh munculnya berbagai
kesatuan aksi lainnya. Kesatuan-kesatuan aksi ini tergabung dalam Badan
Koordinasi Kesatuan Aksi.
3. Tri Tuntutan Rakyat (Tritura)
Meski demonstrasi pembubaran PKI
telah bertambah luas, namun Presiden Soekarno tak kunjung memberikkan
penyelesaian politik yang adil terhadap pemberontakan G-30-S/PKI. Situasi semakin buruk dengan munculnya rasa
tidak puas terhadap keadaan ekonomi negara. Dalam keadaan tersebut akhirnya
tercetuslah Tri Tuntutan Rakyat (Tritura)
yang dipelopori oleh KAMI dam KAPI.
Isi Tritura adalah sebagai berikut:
- Pembubaran
PKI;
- Pembersihan
kabinet dari unsur-unsur G-30-S/PKI; dan
- Penurunan
harga dan perbaikan ekonomi.
3. KOMANDO PEMULIHAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN
Mayjend Soeharto diangkat oleh
Presiden sebagai panglima operasi pemulihan keamanan dan ketertiban serta
pembentukan komando operasi pemulihan keamanan dan ketertiban (Kopkamtib)
kemudian diatur dengan Kepres/Pangti ABRI/Koti Nomor 142/Koti/1965 tanggal 1
November 1965, Nomor 162/Koti/1965/tgl 12 November 1965 dan Nomor
179/Koti/1965 tanggal 6 Desember 1965. Tugas pokok Kopkamtib adalah memulihkan
keamanan dan ketertiban dari akibat-akibat peristiwa Gerakan 30 September serta
menegakkan kembali kewibawaan pemerintah pada umumnya dengan jalan operasi
fisik, militer dan mental.
4. SURAT PERINTAH 11 MARET
Pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden
mengeluarkan surat perintah “Supersemar” (Surat Perintah 11 Maret) kepada
Letjen Soeharto, menteri/pangad, yang pokoknya berisi perintah kepada Letjen
Soeharto untuk atas nama presiden/Pangti ABRI/peminpim besar Revolusi,
mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna terjaminnya keamanan dan
ketenangan serta kesetabilam pemerintahan. Pemberian surat perintah tersebut
merupakan pemberian kepercayaan dan sekaligus pemberian wewang kepada Letjend
Soeharto untuk mengatasi keadaan yang waktu itu serba tidak menentu. Berdasarkan
kewenangan yang bersumber pada Supersemar, dengan menimbang masih adanya
kegiatan sisa-sisa G30S/PKI serta memperhatikan hasil-hasil pengadilan dan
keputusan Mahkamah militer Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh G30S/PKI, pada
tanggal 12 Maret 1966 Letjend Soeharto atas nama Presiden/Pangti ABRI/Pemimpin
Besar Revolusi menandatangani Surat Keputusan Prsiden/Pangti ABRI/Pemimpin
Besar Revolusi/PBR. No 1/3/1966, yaitu pembubaran PKI dan organisasi-organisasi
yang bernaung dan berlindung dibawahnya serta menyatakan sebagai organisasi
terlarang di wilayah kekuasaan Negara RI.
Supersemar
memiliki arti penting berikut:
1. Menjadi tonggak lahirnya Orde Baru.
2. Dengan Supersemar, Letjen Soeharto
mengambil beberapa tindakan untuk menjamin kestabilan jalannya pemerintahan dan
revolusi Indonesia.
3. Lahirnya Supersemar menjadi awal
penataan kehidupan sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Saat ini ada banyak kontriversi
mengenai SUPERSEMAR versi asli. Karena menurut keterangan, SUPERSEMAR yang kita
ketahui saat ini adalah surat perintah yang dikeluarkan oleh TNI AD. Banyak
spekulasi yang mengatakan bahwa surat perintah 11 Maret yang asli disimpan oleh
Soeharto.
5. PEMBUBARAN PKI
Berdasarkan wewenang yang bersumber
pada Supersemar, Letjend Soeharto atas nama Presiden menetapkan pembubaran dan
pelarangan PKI, termasuk semua bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat
sampai kedaerah beserta semua organisasi yang se azas/ berlindung/bernaung
dibawahnya, keputusan tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden/Pangti
ABRI/mandataris MPR/PBR no.1/3/1966 tanggal 12 maret 1966. Seluruh rakyat yang
menjunjung tinggi landasan falsafah dan ideologi Pancasila waktu itu serentak
menuntut dibubarkannya PKI. Oleh karena itu, keputusan pembubaran PKI itu
disambut dengan gembira oleh seluruh rakyat Indonesia.
II.
Lahirnya Orde Baru
Setelah dikelurkan Supersemar maka mulailah dilakukan penataan pada kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Penataan dilakukan di dalam lingkungan lembaga tertinggi negara dan pemerintahan.
Rakyat semakin memiliki kepercayaan tinggi terhadap Soeharto karena
berhasil memulihkan keamanan dan membubarkan PKI. Munculnya konflik dualisme kepemimpinan nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan karena saat itu Soekarno masih berkuasa sebagai presiden sementara Soeharto menjadi pelaksana pemerintahan.
Konflik ini membawa Suharto ke puncak kekuasaan sedangkan Soekarno ,ngundurkan
diri dan menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Suharto.
Pada tanggal 23 Februari 1967, MPRS menyelenggarakan sidang istimewa untuk mengukuhkan pengunduran diri Presiden Sukarno dan mengangkat Suharto sebagai pejabat Presiden RI. Dengan Tap MPRS No. XXXIII/1967 MPRS mencabut kekuasaan pemerintahan negara dan menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Sukarno.
12 Maret 1967 Jendral Suharto dilantik sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Lama dan dimulainya kekuasaan Orde Baru.
Peristiwa Penting di Bidang Politik pada Masa
Orde Baru
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 maka dibentuk
Kabinet Ampera pada tanggal 25 Juli 1966 sebagai upaya mewujudkan Tritura yang
ketiga, yaitu perbaikan ekonomi. Tugas pokok Kabinet Ampera disebut Dwi Dharma
yaitu menciptakan stabilitas politik dan stabilitas ekonomi. Program kerjanya
disebut Catur Karya, yang isinya antara lain:
1. memperbaiki kehidupan rakyat terutama sandang dan pangan,
2. melaksanakan Pemilu,
3. melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan
nasional, dan
4. melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk
dan manifestasinya.
Dengan dilantiknya Jenderal Soeharto sebagai presiden yang
kedua (1967-1998), Indonesia memasuki masa Orde Baru. Selama pemerintahan Orde
Baru, stabilitas politik nasional dapat terjaga. Lamanya pemerintahan Presiden
Soeharto disebabkan oleh beberapa faktor berikut:
1.
Presiden Soeharto mampu menjalin kerja sama dengan golongan militer dan
cendekiawan.
2. Adanya kebijaksanaan pemerintah untuk memenangkan Golongan Karya (Golkar)
dalam setiap pemilu.
3. Adanya penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagai
gerakan budaya yang ditujukan untuk membentuk manusia Pancasila, yang kemudian
dikuatkan dengan ketetapan MPR No II/MPR/1978.
Untuk mewujudkan kehidupan rakyat yang demokratis, maka
diselenggarakan pemilihan umum. Pemilu pertama pada masa pemerintahan Orde Baru
dilaksanakan tahun 1971, dan diikuti oleh sembilan partai politik dan satu
Golongan karya. Sembilan partai peserta pemilu tahun 1971 tersebut adalah
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Murba, Nahdlatul Ulama (NU),
Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islam (PI Perti), Partai Katolik, Partai
Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai
Nasional Indonesia (PNI), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
Organisasi golongan karya yang dapat ikut serta dalam pemilu adalah Sekretariat
Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Sejak pemilu tahun 1971 sampai tahun
1997, kemenangan dalam pemilu selalu diraih oleh Golkar. Hal ini disebabkan
Golongan Karya mendapat dukungan dari kaum cendekiawan dan ABRI. Pemerintah
Orde Baru juga mengadakan perubahan-perubahan dalam politik luar negeri.
Berikut ini upayaupaya pembaruan dalam politik luar negeri:
1.
Indonesia Kembali Menjadi Anggota PBB
Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali menjadi
anggota PBB. Sebelumnya pada masa Demokrasi Terpimpin Indonesia pernah keluar
dari PBB sebab Malaysia diterima menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan
PBB. Keaktifan Indonesia dalam PBB ditunjukkan ketika Menteri Luar Negeri Adam
Malik terpilih menjadi ketua Majelis Sidang Umum PBB untuk masa sidang tahun
1974.
2.
Membekukan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina (RRC)
Sikap politik Indonesia yang membekukan hubungan diplomatik
dengan RRC disebabkan pada masa G 30 S/PKI, RRC membantu PKI dalam melaksanakan
kudeta tersebut. RRC dianggap terlalu mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.
3.
Normalisasi hubungan dengan Malaysia
Pada tanggal 11 Agustus 1966, Indonesia melaksanakan
persetujuan normalisasi hubungan dengan Malaysia yang pernah putus sejak
tanggal 17 September 1963. Persetujuan normalisasi ini merupakan hasil
Persetujuan Bangkok tanggal 29 Mei sampai tanggal 1 Juni 1966.
a)
Dalam
pertemuan tersebut, delegasi Indonesia dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Adam
Malik, sementara Malaysia dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar
Negeri Tun Abdul Razak. Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan yang disebut
Persetujuan Bangkok (Bangkok Agreement), isinya sebagai berikut.
b)
Rakyat
Sabah dan Serawak diberi kesempatan untuk menegaskan kembali keputusan yang
telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
c)
Pemerintah
kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
d)
Tindakan
permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
4. Berperan dalam Pembentukan ASEAN
Peran aktif Indonesia juga ditunjukkan dengan menjadi salah
satu negara pelopor berdirinya ASEAN. Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik
bersama menteri luar negeri/perdana menteri Malaysia, Filipina, Singapura, dan
Thailand menandatangi kesepakatan yang disebut Deklarasi Bangkok pada tanggal 8
Agustus 1967. Deklarasi tersebut menjadi awal berdirinya organisasi ASEAN.