FENOMENA
FUNDAMENTALISME
XI
IPA 3
ELDA
SULISTYANINGRUM
DINAS
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
SMA
NEGERI 1 PANGGUL
Jln.P.Sudirman
87, Panggul Trenggalek
MOTTO
1.
Perjalanan seribu batu bermula dari satu
langkah. (Lao Tze)
2.
Jangan bertanya seberapa besar mimpimu,
tapi tanyakan seberapa besar usahamu untuk mimpimu.
3.
Aku ada, maka aku (harus) berbeda.
4.
Sedikit bumbu apresiasi dlam seni dan
budaya.
5.
Harga mahal tidak selalu berbanding
lurus dengan kepuasan. (Jejak, Tegalboto)
6.
Kata-kata adalah senjata. (Subcomandante
Marcos)
7.
Bekerjalah bagaikantak butuh uang.
Mencintailah bagaikan tak pernah disakiti. Menarilah bagaikan tak seorangpun
sedang menonton.
8.
Manusia tidak merancang untuk gagal,
mereka gagal untuk merancang.
( William J. Siegel )
( William J. Siegel )
9.
Jangan lihat masa lampau dengan
penyesalan; jangan pula lihat masa depan dengan ketakutan; tapi lihatlah
sekitar anda dengan penuh kesadaran.
(James Thurber)
(James Thurber)
10.
Agar dapat membahagiakan seseorang,
isilah tangannya dengan kerja, hatinya dengan kasih sayang, pikirannya dengan
tujuan, ingatannya dengan ilmu yang bermanfaat, masa depannya dengan harapan,
dan perutnya dengan makanan.
(Frederick E. Crane)
(Frederick E. Crane)
11.
Mereka berkata bahwa setiap orang
membutuhkan tiga hal yang akan membuat mereka berbahagia di dunia ini, yaitu;
seseorang untuk dicintai, sesuatu untuk dilakukan, dan sesuatu untuk
diharapkan.
12.
Hiduplah seperti pohon kayu yang lebat
buahnya; hidup di tepi jalan dan dilempari orang dengan batu, tetapi dibalas
dengan buah.
(Abu Bakar Sibli)
(Abu Bakar Sibli)
13.
Sesuatu yang belum dikerjakan,
seringkali tampak mustahil; kita baru yakin kalau kita telah berhasil
melakukannya dengan baik.
(Evelyn Underhill)
(Evelyn Underhill)
14.
Dalam masalah hati nurani, pikiran
pertamalah yang terbaik. Dalam masalah kebijaksanaan, pemikiran terakhirlah
yang paling baik.
(Robert Hall)
(Robert Hall)
15.
Ancaman nyata sebenarnya bukan pada saat
komputer mulai bisa berpikir seperti manusia, tetapi ketika manusia mulai
berpikir seperti komputer.
(Sydney Harris)
(Sydney Harris)
PERSEMBAHAN
Laporan
hasil pengamatan ini kami persembahkan untuk :
1.
Kedua orang tua.
2.
Teman-teman di kelas XI IPA 3.
3.
Kakak kelas XII dan adik kelas X.
4.
Serta orang yang menyayangi kami.
PENGESAHAN
Laporan ini disahkan pada tanggal
…………………………………
Oleh Masruchan Mahpur,S.PdI.
Pembimbing
Masruchan
Mahpur,S.PdI
KATA
PENGANTAR
Hantaran
rasa syukur kami kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmad dan hidayahnya
sehingga makalah ini terselesaikan pada waktunya. Shalawat dan salam kepada
sang idola umat muslim, Nabi Agung Muhammad SAW agar senantiasa diberikan restu
dan motivasi bagi setiap muslim.
Gerakan-gerakan
islam di dunia sangatlah banyak. Melalui oganisasi, komunitas ataupun kumpulan.
Di Indonesia sendiri gerakan islam terbesar adalah Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammdiyah. Fenomena-fenomena yang terjadi sekarang ini menguak sisi lain di
balik gerakan-gerakan islam dalam dunia global di Era Modern ini. Dari
kepenulisan makalah yang kami buat dengan berbagai referensi tersebut, kami
memahami bahwa berbagai fenomena telah terjadi di masyarakat kita. Fenomena
yang akan kami bahas dalam masalah ini adalah “Fenomena Fundamentalisme” yang
semakin merebak di kalangan terpelajar dan masyarakat luas.
Membarengi
tugas-tugas sekolah yang telah kami sandang sejak pendidikan mengenal huruf,
tentu menulis adalah hal yang mudah dan sulit. Makalah yang kami kemas dengan
sedikit memutar otak dan membuka tabir ini akan membuka lembaran penting dalam
pergerakan islam dalam kehidupan bermasyarakat.
Menulis
makalah ini ternyata bisa dijadikan sebagai sarana komunikasi dan sumber
belajar dengan kelebihan menjangkau peminat yang lebih luas dalam masa yang
lebih panjang. Dan menulis makalah ini lebih sulit dari pada sekedar membaca
yang mungkin akan lupa bila tidak cermat.
Semoga
makalah ini bermanfaat dan berdampak positif bagi siapa saja yang membaca dan
mencermati. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak agar terciptanya
yang lebih baik pada penulisan makalah mendatang.
Permohonan
maaf apabila ada kesalahan penulisan dalam pengerjaannya maupun pembahasannya.
Harapan kami, semoga makalah ini bukan hanya sekedar dibaca tapi juga dicermati
dan dijadikan acuan.
DAFTAR ISI
1.
Halaman Judul……………………………………………………………………….1
2.
Motto………………………………………………………………………………...2
3.
Persembahan…………………………………………………………………………3
4.
Pengesahan…………………………………………………………………………..4
5.
Kata Pengantar……………………………………………………………………….5
6.
Daftar Isi……………………………………………………………………………..6
7.
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah……………………………………………………..7
B.
Penegasan Istilah…………………………………………………………….9
C.
Rumusan Masalah…………………………………………………………..11
D.
Tujuan Dan Manfaat Penelitian…………………………………………….11
E.
Tinjauan Pustaka……………………………………………………………12
F.
Metode Penelitian…………………………………………………………..15
8.
BAB II PEMBAHASAN
I.
Maksud Istilah ‘Muslim Fundamentalisme’………………………………...17
II.
Sikap Terhadap Muslim Fundamentalisme…………………………………23
9.
BAB III PENUTUP………………………………………………………………....24
10. DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………….25
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama terbesar di Indonesia dengan
jumlah pemeluk mencapai 85,2% dari jumlah 222 juta jiwa penduduk Indonesia
(Data Sensus 2010: www.//in.wikipedia.org/wiki/indonesia). Proses kehadiran
Islam di Indonesia dan sejarah perkembanganya masih menjadi kajian yang menarik
untuk diteliti. Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang sejarah awal Islam masuk
di Indonesia. Pendapat yang paling kuat adalah menyatakan bahwa Islam masuk di
Indonesia pada abad ke-13 melalui India, pendapat ini salah satunya disampaikan
oleh Snouck Horgonje dengan bukti penemuan batu nisan al-Malik
al-Saleh,
raja Muslim pertama di Samudra Pasai (Suminto, 1993: 313).
Islam yang berkembang di Indonesia bersifat
sinkretis. Bentuk sinkretis ini nampak pada pengaruh budaya lokal terhadap
ritual-ritual ibadah yang dilakukan umat Islam Indonesia (Hidayatullah, 2010:
14). Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi berkembang pula pemikiran
tentang keagamaan. Perkembangan pemikiran keagamaan ditandai dengan timbulnya
gerakan
pemurnian ajaran agama. Gerakan ini lazim disebut dengan gerakan fundamentalisme.
Istilah fundamentalisme secara historis berasal dari
agama Kristen. Kata fundamentalisme berasal dari bahasa latin yaitu “fundamentum”
yang berarti dasar. Sedangkan fundamentalis adalah gerakan kaum reaksioner
Kristen di Amerika Serikat (sejak 1870), yang merasa terancam oleh
ajaran-ajaran teologi liberal dan evolusi sehingga perlu kembali ke asas
fundamen (Shadily, 1989: 1047). Dalam Islam, Hasan Hanafi mengakui adanya
kerumitan menemukan kosa kata yang tepat dan term yang komprehensif
untuk melukiskan apa yang disebut orang tentang gejala pencerahan Islam (al-shahwah
al- Islamiyyah), kebangkitan Islam (al-ba’ts al-Islamy), dan
revitalisasi Islam (al ihya’ al-Islamy). Istilah al-ushuliyyah
al-Islamiyyah ia akui merupakan terjemahan literal dari padanan kata dalam
bahasa Inggris yang telah jamak digunakan Barat, yaitu fundamentalisme Islam
(Hanafi, 2003: 1-12).
Fundamentalisme Islam yang berkembang di masyarakat
tidak terlepas dari seting sosial masyarakat yang ada. Seting sosial yang
dimaksud adalah hal-hal yang mencakup dinamika politik, lingkungan, ilmu
pengetahuan, teologi serta ideologi yang berkembang. Secara historis,
perkembangan fundamentalisme Islam yang bersifat moderat terlahir dari
masyarakat yang memiliki seting sosial yang baik dalam hal pendidikan. Dalam
konteks Indonesia kemunculan fundamentalisme Islam yang bercorak moderat
sebagai respon dari sekularisasi serta arus perlawanan ideologi Barat lahir
dari kalangan terpelajar yang salah satunya lewat Lembaga Dakwah Kampus
(Hidayatullah, 2010: 78).
Dalam seting sosial yang lain, gerakan
fundamentalisme Islam berkembang dalam masyarakat yang menginginkan kembalinya
kejayaan Islam dengan mengembalikan ajaran Islam kepada al-Qur'an dan al-Sunnah
sebagaimana yang dilakukan pada zaman nabi. Gerakan ini lazim disebut dengan Salafi
(Hidayatullah, 2010: 82-83). Gerakan Salafi berkembang terlepas dari pengaruh pendidikan modern dan perguruan
tinggi. Gerakan ini berkembang untuk memurnikan Islam dari pengaruh-pengaruh
yang dapat merusak akidah Islamiyah. Namun di antara keduanya memiliki spirit
dan karakter yang sama yaitu pendekatan yang literal terhadap sumber Islam
(al-Qur’an dan al-Sunnah).
Literalisme ini berkoinsidensi dengan semangat
skripturalisme, meskipun Leonard Binder membuat kategori fundamentalisme
non-skriptural untuk pemikir fundamentalis seperti Sayyid Qutb (Nur Fuad, 2007:
blog.sunanampel.ac.id)
Mengacu dari pendapat Hasan Hanafi, fundamentalisme
Islam dapat dipandang sebagai sebuah fenomena keagamaan yang mencakup
pencerahan Islam, kebangkitan Islam, dan revitalisasi Islam. Sebagai sebuah
fenomena keagamaan, kemunculan fundamentalisme tidak bisa dilepaskan dari
fenomena sosial, budaya, dan politik. Gerakan ini juga dapat disebut sebagai
gejala kebangkitan Islam yang bersifat multidimensional. Di Indonesia
perkembangan gerakan fundamentalisme Islam mendapat respon dan antusias yang
tinggi terutama di kalangan pelajar islam, umum, mahasiswa di sejumlah
perguruan tinggi umum maupun perguruan tinggi swasta di Indonesia.
Representasi gerakan fundamentalisme di kalangan
pelajar tampak pada organisasi temu pelajar muslim (TPM), untuk mahasiswa tampak
pada organisasi mahasiswa di Perguruan tinggi seperti Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia (KAMMI). KAMMI adalah metamorfosis dari gerakan Tarbiyah.
Umumnya gerakan-gerakan tersebut memiliki daya resonansi dan popularitas yang
cukup mengagumkan di Perguruan tinggi yang memiliki latar belakang keagamaan
minim seperti negeri dan umum. Selain TPM, KAMMI, masih ada lagi gerakan mahasiswa fundamentalis
lainnya, di antaranya adalah Gerakan Mahasiswa Pembebasan (metamorfosis Hizbut
Tahrir Indonesia), dan gerakan Salafi.
Berbeda dari tampilan beberapa organisasi
kemahasiswaan Islam lain yang sudah ada sebelumnya seperti PMII, HMI,
gerakan-gerakan ini membawa spirit Islam baru yang mencerminkan totalitas dan
kesungguhan, baik dalam tujuan perjuangannya maupun dari segi perilaku politik
sosialnya. Mereka lebih mempresentasikan dirinya sebagai potret generasi muda
Islam yang ideal, sebagai yang shaleh, menjunjung tinggi moralitas Islam
dalam berbagai aspek
kehidupan
(Anonim, 2008: http://moderat.wordpress.com/2008/02/16).
Dalam perkembangannya, fundamentalisme Islam menjadi
gerakan yang luas di masyarakat dan memiliki karakteristik tersendiri. Gerakan
fundamentalisme moderat yang awalnya lahir dari gerakan dakwah di perguruan tinggi
ber-evolusi menjadi gerakan politik. Sementara itu gerakan Fundamentalisme
Islam yang bercorak pemurnian ajaran Islam dalam hal ini adalah Salafi mulai
berkembang dan tumbuh di perguruan tinggi. Oleh karena itu perguruan tinggi
menjadi seting sosial yang menarik untuk diteliti. Hal yang membuat menarik
adalah perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan tinggi yang mengedepankan
nilai-nilai akademik. Sehingga perkembangan ideologi dan pemikiran bebas
berkembang sebagai sebuah wacana dan kajian di dalam perguruan tinggi dengan
dilindungi undang-undang yang berlaku.
Sementara
itu gerakan fundamentalisme Islam mencoba memperjuangkan paradigma Islam yang
holistik.
Pandangan fundamentalisme Islam yang moderat dan Fundamentalisme
Islam yang tradisional di perguruan tinggi pada perkembanganya mendapat
apresiasi yang cukup baik di kalangan mahasiswa. Perkembangan tersebut terjadi
di perguruan tinggi umum ataupun swasta
termasuk
di Universitas Muhammadiyah Surakartamaupun lembaga pendidikan lainnya .
Klasifikasi dan tipologi yang dilakukan oleh para peneliti selama ini melihat
fundamentalisme Islam dalam cakupan yang luas termasuk seting sosialnya,
perbedaan seting sosial akan membuat perbedaan pula dalam karakteristik
gerakan. Oleh karena itu diperlukan penelitian yang mendalam untuk menemukan
karakteristik yang mendalam dengan seting sosial tertentu.
Berdasarkan latar belakang di atas maka makalah ini
akan mengkaji karakteristik varian fundamentalisme Islam dengan seting sosial masyarakat,
dan lembaga pendidikan.
B.
Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalahapahaman dalam memahami
judul makalah ini, perlu diberikan penegasan istilah serta sebagai batasan atau
ruang lingkup pembahasan.
1.
Karakteristik
Karakteristik adalah sifat khas sesuai dengan
perwatakan tertentu(depkdikbud, 1998: 389). Dalam kamus sosiologi karakteristik
adalah sifat khas yang melekat pada satu individu atau suatu kelompok sosial
yang membentuk sebuah tipologi sosial (Soekamto, 1983: 67). Karakteristik
tentang fundamentalisme agama dikemukakan oleh Richard Antoun (2003: 25-35); pertama,
totalisme, yaitu orientasi keagamaan yang memandang bahwa agama adalah relevan
teradap semua ranah budaya dan masyarakat termasuk politik, keluarga, ekonomi,
pendidikan dan hukum. Kedua, skripturalisme yaitu pembenaran dan pengacuan
semua keyakinan dan perbuatan penting pada Kitab Suci yang dianggap tanpa
kesalahan. Ketiga, modernisasi selektif, yaitu proses penerimaan secara
selektif dan terkendali terhadap inovasi teknologi dan keorganisasian sosial
yang diperkenalkan dunia modern. Keempat, penempatan masa lalu mitologis
ke masa kini (pentradisian), yaitu proses yang menjadikan laporan, peristiwa,
dan gambaran yang terdeskripsi dalam teks relevan dengan aktivitas sehari-hari
masa kini.
Dalam makalah ini definisi karakteristik yang
digunakan adalah dalam istilah sosiologi. Sedangkan ruang lingkup pembahasan
tentang karakteristik fundamentalsime agama menggunakan pendekatan
karakteristik fundamentalisme agama yang disampaikan oleh Richard Antoun di
atas.
2.
Fundamentalisme Islam
Fundamentalisme berasal dari kata latin yaitu “fundamentum”
yang berarti fundamen atau dasar. Sedangkan fundamentalis adalah gerakan kaum reaksioner
Kristen di Amerika Serikat (sejak 1870), yang merasa terancam oleh
ajaran-ajaran teologi liberal dan evolusi sehingga perlu kembali ke asas fundamen.
Definisi lain disampaikan Frans Magnis Suseno, ia memahami fundamentalise
sebagai sebuah pandangan teologis dan penghayatan keagamaan dimana seseorang
mendasarkan seluruh pandangan-pandangan dunianya, nilai-nilai hidupnya pada
ajaran eksplisit agamanya (Rizka 2005: http://islamlib.com/id.ph?page=article&id=22/11/2005).
Fundamentalisme secara umum dapat diartikan sebagai
sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham, atau agama yang berupaya untuk kembali
kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas(pondasi). Kelompok
atau individu yang mengikuti paham ini seringkali berbenturan dengan kelompok
lain di lingkungan agamanya sendiri. Mereka menganggap dirinya lebih murni dan
benar dari pada kelompok lain. Ini didasarkan pada tafsir atau interprestasi
secara harfiah semua ajaran yang terkandung dalam Kitab Suci atau buku pedoman
lainnya (Fahmi, 2003: 1-3).
Sedangakan Islam secara etimologi berasal dari
bahasa Arab, yaitu dari kata kerja (fi’il) aslama, yuslimu,
yang berarti meyerahkan diri, tunduk dan patuh. Islam dalam terminologi adalah
agama Allah yang disyari’atkan kepada umat manusia sejak nabi Adam hingga nabi
Muhammad S.A.W. Islam adalah agama tauhid yang ditegakkan oleh nabi Muhammad
S.A.W selama 23 tahun di Mekkah dan Madinah (Sudrajat, 2003: 21-23). Pengertian
fundamentalisme Islam secara terminologi dikutip oleh Rifyal Ka’bah dari
definisi yang disampaikan oleh Mohammad Haikal, fundamentalisme Islam
didefinisikan sebagai ”a movement which aims at a
return
to the basic ideas an the practices which characterized Islam in its earlie’s
days”(Ka’bah, 1984: 35).
Sedangkan pengertian varian fundamentalisme Islam
menurut Oliver Roy dalam bukunya The Failure of Political Islam, varian
fundamentalisme Islam adalah kelompok-kelompok yang terdapat dalam agama Islam
yang melakukan pendekatan konservatif dalam melakukan reformasi keagamaan,
bercorak literalis, dan menekankan pada pemurnian doktrin, varian
fundamentalisme Islam dapat dikategorikan menjadi dua yaitu fundamentalisme
Islam murni atau fundamentalisme Islam tradisional dan neo-fundamentalisme
Islam atau fundamentalisme Islam modern (Oliver Roy, 194: 30).
Fundamentalisme Islam yang dimaksud dalam makalah
ini adalah gerakan kelompok Islam yang berupaya untuk mengembalikan dan membentuk
tatanan kehidupan yang berdasarkan atas asas-asas (pondasi) agama yaitu
al-Qur’an dan al-Sunnah melalui paradigma fundamentalistik yaitu: totalisme,
skripturalisme, modernisasi selektif dan pentradisian. Sedangkan varian
fundamentalisme Islam dalam makalah ini mengacu pendapat Oliver Roy, yaitu
kelompok-kelompok yang terdapat dalam agama Islam yang melakukan pendekatan
secara konservatif, dan bercorak literalis.
Berdasarkan pengertian fundamentalisme serta varianfundamentalisme
Islam yang digunakan dalam makalah ini maka varian fundamentalisme Islam
(murni) yang dapat diidentifikasi adalah kelompok Salafi, sedangkan kelompok
neo-fundamentalisme yang dekat dengan politik dan sikap oposisi adalah kelompok
Tarbiyah dan Hizbut Tahrir. Dalam gerakan fundamentalisme di kalangan mahasiswa
varian fundamentalisme Islam tersebut menggunakan nama lain yaitu Gema
Pembebasan (metamorfosis Hizbut Tahrir Indonesia) tetapi di beberapa perguruan
tinggi menggunakan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), KAMMI (metamorfosis gerakan
Tarbiyah), dan Salafi yang masih tetap dengan nama Salafi.
C.
Rumusan Masalah
Memperhatikan
latar belakang dan penegasan judul di atas, maka rumusan masalah dalam makalah
ini adalah:
1.
Apa yang dimaksud muslim fundamentalisme
dan fenomenanya dalam dunia masyarakat.
2.
Penyebaran fundamentalisme.
D.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
a. Mendeskripsikan
sejarah dan fenomena varian fundamentalisme
b. Mengetahui
karakteristik varian fundamentalisme Islam
2.
Manfaat Penelitian
Sejalan dengan tujuan
penelitian di atas, maka diharapkan penelitian ini mampu memberikan manfaat:
a. Manfaat
secara teoritis adalah untuk menambah khazanah keilmuan dalam bidang pemikiran
Islam.
b. Manfaat
praktis:
1.
Bagi masyarakat dan umat Islam dapat
dijadikan referensi dalam melihat dinamika dan perkembangan pemikiran Islam,
sehingga memperluas khazanah pengetahuan tentang perkembangan pemikiran Islam.
2.
Bagi lembaga kemahasiswaan penelitian
ini dapat dijadikan rujukan dalam melihat peta perkembangan pemikiran dan kelembagaan
yang terjadi di kalangan mahasiswa Islam, sehingga dapat dijadikan referensi
dalam pembinaan keagamaan di kalangan mahasiswa.
3.
Bagi Pemerintah khususnya Kementerian
Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional dapat dijadikan pemetaan awal tentang
perkembangan pemikiran Islam, sehingga jika terjadi masalah ke depan dapat
ditemukan resolusi konflik yang relevan.
E.
Tinjauan Pustaka
Beberapa hasil penelitian yang membahas tentang
fundamentalisme Islam baik secara umum yang berada di masyarakat dan secara
khusus yang berada di lingkup perguruan tinggi yang relevan dengan penelitian
ini, di antaranya adalah:
1.
Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad
Ali (UMS, 2007) dalam skripsinya yang berjudul “Fundamentalisme Islam dalam
Pandangan Tokoh Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama Kota Pekalongan”. Dalam penelitian
ini Muhammad Ali menyampaikan bahwa telah terjadi perbedaan penafsiran tentang
fundamentalisme. Para tokoh Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama secara genologis
tidak sepakat adanya istilah fundamentalisme dalam Islam. Alasanya istilah
tersebut memberikan citra yang buruk terhadap Islam. Menurut mereka fundamentalisme,
terorisme dan radikalisme adalah istilah yang diciptakan oleh Barat untuk
menciptakan citra negatif bagi Islam. Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad
Ali tersebut menggunakan pendekatan historis-deskriptif, dengan mendeskripsikan
pandangan tokoh Muhammadiyah dan NU di kota Pekalongan tentang pandangan mereka
terhadap istilah fundamentalisme. Penelitian tersebut belum membahas secara
khusus tentang fenomena fundamentalisme Islam di masyarakat ataupun mahasiswa.
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas fenomena fundamentalisme Islam yang
berada di masyarakat terutama pada pelajar dan mahasiswa.
2.
Kasinyo Harto (Balitbang Depag, 2008)
dalam penelitianya yang berjudul “Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi
Umum: Kasus Gerakan Keagamaan Mahasiswa di Universitas Sriwijaya Palembang”,
menyimpulkan bahwa gerakan fundamentalisme Islam di kalangan pelajar memiliki
relasi dengan gerakan fundamentalisme Islam yang berada di masyarakat luar.
Dalam kesimpulan yang lain disebutkan bahwa motivasi dari pelajar mengikuti
gerakan keagamaan ini adalah adanya tawaran riil dari sikap beragama yang
ditawarkan oleh para mahasiswa dan pelajar yang telah bergabung dalam kelompok
ini, baik dari simbol keagamaan dan tingkahlaku. Dalam penelitian Kasinyo Harto
tersebut menggunakan pendekatan fenomenologis, tetapi belum membahas secara
spesifik tentang karakteristik dan varian fundamentalisme islam. Penelitian
tersebut hanya mengidentifikasi hubungan fundamentalisme di Kalangan pelajar, perguruan
tinggi dengan fundamentalisme pada masyarakat umum serta motivasi pelajar, dan mahasiswa
mengikuti gerakan fundamentalisme Islam. Maka penelitian ini mengambil sisi
yang belum dibahas, yaitu karakteristik dari varian fundamentalisme islam.
3.
Mubarak Ahmad Banawir (UMM, 2004) dalam
skripsinya yang berjudul “Gerakan Fundamentalisme Islam pada Mahasiswa
(Studi Tentang Ideologi Organisasi, Faktor, dan Corak pengikut di Kalangan
Mahasiswa UMM”), menyimpulkan bahwa ada dua organisasi fundamentalis
terbesar di UMM, yaitu Jama’ah Tabligh dan Hizbut Tahrir. Kelompok fundamentalis
dari kalangan mahasiswa memiliki ideologi yang hampir serupa. Pada Jama’ah
Tabligh, lebih diutamakan hal-hal yang bersifat wajib dan sunnah saja, dan
menghindari hal-hal yang dianggap kontroversial, seperti masalah politik dan
khilafah. Sedangkan pada Hizbut Tahrir, ide perjuangan pokok berkisar pada
masalah politik dengan memperjuangkan diterapkannya sistem khilafah. Walaupun
Hizbut Tahrir memiliki perjuangan politis, tetapi mereka mengharamkan system parlementer.
Sehingga tidak satupun dari anggotanya yang mengikuti Pemilu. Tidak jauh beda
dengan Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh juga mengharamkan untuk terjun dalam
kancah politik, karena dianggap akan mengganggu aktivitas dakwah. Itulah salah
satu perbedaan yang nyata di antara keduanya. Adapun faktor-faktor yang
melatarbelakangi mahasiswa aktif pada organisasi tersebut, antara lain;
minimnya mereka berinteraksi dengan penafsiran ajaran agama kelompok lain,
adanya pengaruh interaksi sosiologis di kalangan mahasiswa, semangat ke-Islaman
yang tinggi pada masa pra-kuliah, pengaruh psikologis, perkenalan dengan
organisasi sebelum memasuki bangku kuliah, dan rasa tidak percaya terhadap pemerintah
saat ini. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Mubarok
Ahmad Banawir di atas adalah dalam segi tujuan penelitian. Penelitian Mubarok
tersebut bertujuan untuk mengetahui tentang ideologi, faktor dan corak pengikut
dari mahasiswa yang ikut dalam gerakan fundamentalisme Islam, sedangkan
penelitian ini mencoba melihat dari sisi karakteristik varian fundamentalisme
Islam.
4.
Deny Asy’ari (UGM, 2009) dalam tesis
yang berjudul “Radikalisme Gerakan Keagamaan Mahasiswa non Studi Keagamaan
dalam Gerakan Islam Radikal”, menyimpulkan bahwa terjadinya proses
radikalisasi keagamaan mahasiswa non studi keagamaan dalam gerakan Islam
radikal diantaranya karena; Pertama, ajaran agama bagi mahasiswa non
studi keagamaan diposisikan semata-mata sebagai sesuatu yang bersifat doktrinal
dan non akademis atau non-saintifik. Sehingga dalam menerima keagamaan tidak adanya diskursus yang
memadahi dalam mengkaji ajaran agama. Kedua, proses internalisasi ajaran
keagamaan yang lebih mengedepankan pada pendekatan indoktrinasi, karena latar
belakang pendidikan mahasiswa non studi keagamaan tersebut yang sangat jarang bersentuhan
dengan pendidikan dan pengalaman keagamaan, sehingga pendekatan yang demikian
jauh lebih efektif dalam melakukan proses internalisasi dan ideologisasi ajaran
keagamaan. Ketiga, agama sebagai nilai dan simbol cenderung dijadikan
sebagai proses legitimasi untuk identitas
sosial dan mobilitas sosial. Sehingga penampilan praktek keagamaan lebih
didominasi oleh aspek simbolik dan ritual yang bersifat spesifik. Penelitian
Deny Asy’ari menggunakan pendekatan sosiologi. Dari penelitian di atas Deny
hanya membatasi masalah proses radikalisasi mahasiswa non studi keagamaan. Deny
tidak membahas tentang fundamentalisme agama (Islam) di kalangan mahasiswa
secara kelembagaan melainkan kepada individu-individu dalam suatu fenomena sosial
keagamaan.
5.
Moh. Yusron (UMS, 2003) dalam tesis yang
berjudul “Islam Fundamentalisme Sebagai Fenomena Ideologis Politis: Studi
Terhadap Gerakan Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS”). Di dalam tesis ini terdapat
beberapa macam kategori Islam fundamentalis. Gerakan Front Pemuda Islam
Surakarta (FPIS) termasuk dalam kategori yang dibuat oleh Azra yaitu
fundamentalisme pra-modern dan fundamentalisme kontemporer atau
neo-fundamentalisme. Fenomena ideologis politis yang ditemukan dalama FPIS
adalah atas kelompok ini yang reaktif dan reaksioner terhadap isu-isu politik
dan ke-Islaman. Penelitian yang dilakukan oleh Moh. Yusron dengan pendekatan sosiologi
tersebut membahas fenomena fundamentalisme Islam dalam kalangan masyarakat
umum, sedangkan penelitian ini akan membahas lebih spesifik pada kalangan
mahasiswa di perguruan tinggi.
6.
Abdul Aziz (Diva Pustaka, 2004)
dalam buku yang berjudul “Varian-Varian Fundamentalisme Islam di Indonesia”
menjelaskan secara historis varian yang ada di Indonesia antara lain: Jama’ah
Tabligh, Darul Arqam, dan Tarbiyah. Selain menjelaskan secara historis ketiga
gerakan fundamentalisme Islam tersebut di Indonesia, Aziz juga mengungkapkan secara
teoritis pada pendahuluan tentang teori munculnya fundamentalisme dalam agama.
Perbedaan penelitian Aziz dengan skripsi ini adalah pada sisi subyek
fundamentalisme agama serta tujuan penelitian. Aziz hanya mengambil Universitas
Indonesia untuk mengkaji secara historis gerakan Tarbiyah, namun pada Jama’ah
Tabligh dan Darul Arqam Aziz menggambil sampel pada sejarah dan perkembangan di
luar perguruan tinggi. Makalah ini
membahas khusus perkembangan varian fundamentalisme Islam di kalangan pelajar,
dan perguruan tinggi dengan
karakteristik dari masing-masing varian. Dari telah pustaka tersebut, belum ada
judul penelitian ataupun buku yang membahas secara spesifik dari karakteristik
varian fundamentalisme Islam di perguruan tinggi. Oleh karena penelitian ini akan
membahas hal tersebut dengan judul penelitian Fenomena Fundamentalisme Islam
di Masyarakat, Pelajar, dan Mahasiswa.
F.
Metode Penelitian
1.
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan
menggunakan studi kepustakaan serta memanfaatkan via maya dalam pengerjaannya. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang
dilakukan terhadap variabel yang data-datanya sudah ada tanpa proses manipulasi
(data masa lalu dan sekarang). Penelitian deskriptif merupakan metode penelitian
yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai apa adanya. Pada
penelitian ini kami melakukan control terhadap subyek . Serta melakukan
penelitian secara langsung dalam bermasyarakat.
2.
Pendekatan
Pendekatan dalam penelitian ini adalah menggunakan
pendekatan fenomenologis. Pendekatan fenomenologis adalah pendekatan yang berusaha
memahami makna peristiwa serta interaksi pada orang-orang dalam situasi
tertentu. Fenomenologis berusaha masuk ke dalam dunia konseptual para subyek
yang diteliti sedemikian rupa sehingga peneliti mengerti apa dan bagaimana
suatu pengertian yang dikembangkan oleh subyek di sekitar peristiwa dalam
kehidupannya sehari-hari (Sukmadinata, 2006: 95). Fenomena yang diteliti adalah
fenomena keberagamaan mahasiswa di perguruan tinggi. Pendekatan fenomenoligis
adalah untuk mengetahui karakteristik dari varian fundamentalisme Islam yang
terjadi di kalangan mahasiswa.
3.
Subyek Penelitian
Subyek penelitian adalah tempat memperoleh informasi
yang dapat diperoleh dari seseorang ataupun sesuatu, yang mengenainya agar
dapat diperoleh keterangan (Arikunto, 1996: 113). Dalam penelitian ini subyek penelitian
mencakup hal-hal yang dapat memberi informasi yang berkaitan dengan
karakeristik varian fundamentalisme Islam. Penentuan subyek dengan melihat
populasi lalu mengambil sampel yang akan dijadikan sumber data. Subyek dalam
penelitian ini adalah varian (kelompok-kelompok) fundamentalisme Islam.
4.
Teknik Pengumpulan Data
a. Metode
Observasi
Metode observasi adalah metode yang digunakan dalam
penelitian lapangan dengan cara pengamatan, pencatatan secara sitematis
terhadap fenomena yang menjadi tujuan penelitian (Arikunto, 1996: 147). Metode
digunakan untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan,
tingkah laku dan karakteristik dari varian fundamentalisme Islam yang dilakukan
oleh subyek penelitian.
5.
Metode Analisis Data
Analisis adalah rangkaian pengolahan, pengelompokan
secara sitematis, penafsiran, dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki
nilai-nilai sosial, akademis, dan ilmiah. Metode analisis data yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif. Komponen utama
dalam proses analisis penelitian kualitatif ini meliputi: reduksi data (data
reduction), penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan
(verification). Sesuai dengan penelitian kualitatif, maka proses
analisis dalam penelitian ini dilakukan secara bersamaan dengan proses
penggumpulan data, atau menggunakan model proses analisis mengalir (follow model
analysis). Reduksi data dilakukan sejak proses pengumpulan data berlangsung
dan bersamaan terjalin dengan dua kompenen lain. Tiga kompenen tersebut
mengalir dan tetap saling menjalin pada waktu pengumpulan data sudah berakir,
sampai dengan proses laporan
penelitian
(Arikunto, 1996:31).
Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif
dengan pola berfikir induktif, yaitu menarik kesimpulan yang bersifat umum dari
berbagai peristiwa yang bersifat khusus. Pada penalaran induktif lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun
argumentasi dan diakhiri dengan penyimpulan yang bersifat umum (Suryabrata,
1987: 330). Analisa data diawali dengan mereduksi data hasil wawancara, observasi
dan dokumentasi dari subyek penelitian kemudian disajikan secara cemat dan diklasifikasi
lalu ditarik kesimpulan dari karakteristik masing-masing varian fundamentalisme
Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
I. Maksud Istilah ‘Muslim Fundamentalis’
Menurut M. ‘Abid Al-Jâbirî, istilah ‘muslim
fundamentalis’ awalnya dicetuskan sebagai signifier bagi gerakan Salafiyyah
Jamaluddin Al-Afghânî. Istilah ini, dicetuskan karena bahasa Eropa tak punya
istilah padanan yang tepat untuk menterjemahkan istilah Salafiyyah. Hingga
Anwar Abdul Malik pun memilih istilah itu sebagai representasi dari istilah
Salafiyyah Al-Afghânî, dalam bukunya Mukhtarât min Al-Adab Al-Arabi Al-Mu‘âshir
(1965: berbahasa Prancis), dengan tujuan memudahkan pemahaman dunia tentangnya
dengan istilah yang sudah cukup akrab: fundamentalisme.
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Hassan Hanafi.
Professor filsafat Universitas Cairo ini mengatakan bahwa term ‘muslim
fundamentalis’ adalah istilah untuk menunjuk gerakan kebangkitan Islam,
revivalisme Islam, dan gerakan/kelompok Islam kontemporer, yang sering
digunakan peneliti Barat lalu sering digunakan oleh banyak pemikir.
Kalau Al-Jâbirî dan Hanafi cenderung adem ayem
dengan pematokan istilah tadi, M. Said Al-Asymawi cenderung berusaha mencari
akar peristilahannya. Sebelum sang mustasyar ini menggunakan istilah ‘muslim
fundamentalis’, ia berusaha mengungkap makna awal dari istilah ‘fundamentalis’.
Dalam buku Al-Islâm Al-Siyasî (1987), Al-Asymawi berkata
bahwa istilah fundamentalis awalnya berarti umat kristen yang berusaha kembali
ke asas ajaran Kristen yang pertama. Term itu kemudian berkembang. Lalu
disematkan pada setiap aliran yang keras dan rigid dalam menganut dan
menjalankan ajaran formal agama, serta ekstrem dan radikal dalam berpikir dan
bertindak. Hingga komunitas Islam yang berkarakter semacam itu kena imbas disebut
fundamentalis, dan istilah fundamentalisme Islampun muncul.
Seluruh paparan di atas tampaknya berkonvergensi pada
sebuah kesimpulan bahwa istilah ‘muslim fundamentalis’ telah mengalami
pematokan, pelebaran dan penyempitan. Istilah itu sempat dipatok untuk fenomena
Salafiah Al-Afghânî. Kemudian dilebarkan untuk semua gerakan revivalisme Islam.
Lalu disempitkan untuk gerakan muslim radikal/ekstrem/literal/garis-keras. Dan
penyempitan inilah yang kini sering dijadikan sebagai relational meaning bagi
kata ‘muslim fundamentalis’.
Jika yang dimaksud dengan muslim fundamentatis dewasa ini
adalah komunitas muslim radikal/ekstrem/literal/garis-keras, maka, apa
pemikiran dan tindakan mereka, hingga mendapatkan banyak julukan seram? Dan
mengapa mereka berpikir dan bertindak semacam itu?
Pemikiran dan Tindakan Muslim Fundamentalis
Pikiran inti dari muslim fundamentalis adalah Hakimiyyat
allâh. Yaitu, pengakuan atas otoritas Tuhan dan syariatNya semata di atas bumi,
dan ketundukan manusia hanya kepadaNya.
Landasan berpikir pikiran tadi berupa kalimat tauhid lâ
ilâha illa allah. Yang berarti; tiada tuhan selain Allah, dan tiada otoritas
dan syariat kecuali syariat dan otoritas Allah.? Sehingga, ia berimplikasi
epistemologis pada penegasian semua yang bukan Allah dan bukan dari Allah, dan
berimplikasi epistemologis pada pemberian label musyrik, kafir, fasik dan
dlalim bagi siapa saja yang tak menegasi selain allah dan syariatNya.
Hal ini terbukti pada perkataan muslim fundamentalis
bahwa; siapapun yang enggan menegasikan sistem selain dari Allah, atau menolak
dan memusuhi kedaulatan dan sistem Allah (hakimiyyat allâh dan syariat Allah),
adalah musyrik jahiliyyah. Karena mereka telah mensekutukan Tuhan dengan
mengakui otoritas selainNya dan menggunakan sistem selain sistemNya.
Dan barang siapa
yang enggan menerapkan syariat Islam adalah kafir, fasik, dan dzalim. Karena
Tuhan telah berfirman ”...wa man lam yahkum bi mâ anzala Allah fa ulâika hum
al-kâfirûn...al-dzâlimûn...al-fasiqun” (...barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir...dzalim...fasik )
Ide yang hanya mengakui otoritas Tuhan dan syariatNya
ini, tentu saja tak mengakui demokrasi. Karena baginya, semua adalah dari
Tuhan untuk manusia. Tak ada istilah, dari manusia (baca: rakyat) untuk
manusia.
Hakimiyyat Allah juga tak mengakui kontrak sosial. Karena
kesepakatan bersama masyarakat untuk kepentingan bersama dalam suatu komunitas
manusia, baginya tak diperlukan lagi. Semuanya sudah distempel oleh Tuhan
dan syariatNya.
Dan ia juga tidak mengakui pluralitas. Karena yang diakui
hanya syariat Allah saja (baca: syariat Islam Muhammadisme). Tak perduli dengan
penganut agama lain yang punya syariat sendiri.
‘File’ demokrasi, pluralitas dan kontrak sosial
seluruhnya tak ada dalam ‘hard disk’ hakimiyyat allah. Sebaliknya, teokrasi dan
teosentris memenuhi seluruh ‘capacity’nya. Pendapat ini dibuktikan dengan
implikasi epistemologis-praktis hakimiyyat allah yang cenderung membela Tuhan
dan agama dari pada membela manusia.
Berorientasi melangit dari pada membumi. Sebenarnya
tendensi mengangkasa ini wajar terjadi mengingat titik tolaknya adalah kalimat
tauhid la ilaha illa allah. Namun sayangnya, kalimat tauhid yang konon
digunakan untuk mengagungkan Tuhan dan syariatNya saja itu, terkadang tak lagi
proporsional. Yang dibesarkan tak lagi Allah dan syariatNya semata, melainkan
diri sendiri dan pendapatnya.
Hal ini bisa kita lihat pada pengakuan mereka bahwa
merekalah umat terbaik, umat Islamiyyah; selainnya buruk, jahiliyyah.
Pendapat mereka adalah pendapat terbenar dan harus ditaati karena berpegang
pada syariat Tuhan, sedang pendapat lainnya adalah salah. Padahal
pengakuan itu belum tentu sesuai dengan realitas, secara tidak langsung
telah menempatkan diri pada posisi Tuhan, telah meredusir egalitarisme manusia,
dan telah melupakan bahwa kebenaran mutlak dari Tuhan yang berada di ‘tangan’
manusia pada hakekatnya tak lagi mutlak: bercampur dengan kebenaran relatif
manusia.
Klaim kebesaran dan kebenaran diri tadi cepat atau lambat
akan menimbulkan gejala fasis. Kemudian menghasilkan cara pandang dikotomis.
Lalu mendorong diri untuk memberi label-label buruk terhadap golongan yang tak
sejalan. Seperti memberi label musyrik, kafir, dzalim, munafik dan jahiliyyah
kepada seteru atau orang yang tak setuju dengan ide hakimiyyatullah dan
penerapan syariat, dengan tanpa kesadaran penuh bahwa labelisasi itu berakar
dari interpretasi literal yang tak bersandar pada asbab al-nuzul yang
sebenarnya.
Kalau implikasi epistemologisnya sudah cukup
menghawatirkan. Implikasi praktisnya lebih mengenaskan. Sinergi faham teokrasi,
paradigma teosentris, yang telah menimbulkan gejala fasis-dikotomis itu,
kemudian menggulirkan tindakan semena-mena dan anarkis.
Dalam sejarah Islam klasik, kita dapat menyaksikan
kekejian Khawarij menghalalkan darah Khalifah Ali. Dalam sejarah Mesir, kita
dapat melihat keganasan muslim fundamentalis membunuh Presiden Anwar Sadat dan
Farag Faudah. Dan dalam sejarah Indonesia, bumi pertiwi ini sempat dipicingkan
matanya oleh radikalitas DI/TII; membuat makar di tengah masyarakat dan
memberontak karena ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).
Tak dipungkiri, kekerasan pemikiran dan tindakan tersebut
sungguh meremas otak dan hati. Apa faktor penyebab yang melatari kemunculannya?
Faktor Penyebab Pemikiran dan Tindakan Muslim Fundamentalis
Di atas, fenomena muslim fundamentalis telah kita dekati
dari sisi ideologisnya. Sebab mereka mengaku bahwa faktor keimanan atau
ideologi agamalah epistemologi dan motor penggerak pikiran dan tindakan mereka.
Dari pendekatan tersebut teraih sebuah kesimpulan bahwa
tindakan radikal muslim fundamentalis timbul dari pikiran radikal. Dan pikiran
radikal mereka muncul dari suatu landasan berpikir yang didekati dengan metode
berpikir ekstrim.
Tapi, apakah benar, faktor ideologis keagamaan saja yang
melatari fenomena ini? Dan apakah cukup, fenomena ini didekati dari sisi
ideologisnya saja?
Sebagaimana yang telah diutarakan di prolog, fenomena ini
akan didekati dari pelbagai aspek. Sehingga pendekatan dari segi ideologi belum
dianggap final. Hal itu akan dilanjutkan dengan upaya mencari faktor-faktor
penyebab lain dari aspek pendekatan yang berbeda. Di antaranya
adalah aspek sosial.
Dalam tinjauan sosiologis, contoh kasus pikiran dan
tindakan radikal gerakan muslim fundamentalis bisa disimpulkan muncul karena
penekanan-penindasan. Hal ini dapat dilihat dari maraknya gerakan muslim
fundamentalis Indonesia pasca reformasi, dan munculnya Jamaah Jihad di Mesir
Di zaman Suharto berkuasa, gerakan muslim fundamentalis
bisa dianggap sepi. Sebab, rezim ini menganut asas tunggal dan menerapkan
undang-undang subversi. Sehingga suara-suara yang ‘melenceng’ dari
Pancasila ditebas. Dan tindakan-tindakan yang menggoyang stabilitas nasional
dihempas.
Namun setelah roda reformasi bergulir, gerakan muslim
fundamentalis mulai ramai. Mereka yang tadinya tak bebas di zaman
Suharto, mulai berani unjuk gigi secara serempak. Dengan mendirikan partai
politik, LSM, majlis ta’lim, dll, dan menjual ide ke wilayah publik.
Demikian halnya dengan keadaan sosial politik yang
dialami muslim fundamentalis Mesir sebelum Jamaat Jihad didirikan. Pada bulan
September 1981 pemerintahan Anwar Sadat menetapkan undang-undang subversi
‘al-fitnah atthaifiyyah’. Lalu aktivis Ikhwan Muslimin yang dianggap oposan
dipenjara. Dan dalam penjara mereka mendirikan Jamaah Jihad. Kemudian pada
tanggal 6 Oktober 1981, kelompok yang berpegangan pada buku radikal “alfaridzah
al-ghaibah” karya Muhammad Abdussalam itu, membunuh Presiden Anwar Sadat.
Dari dua contoh kasus itu, maka cukup tepat untuk
mengatakan bahwa gerakan muslim fundamentalis, secara sosiologis, timbul karena
tertindas atau tertekan.
Masih dalam tinjauan sosiologis pula, fenomena muslim
fundamentalis ini bisa juga disimpulkan sering muncul dalam keadaan
sosial-politik yang tidak stabil. Contoh kongkretnya dapat dilihat pada kasus
munculnya Khawarij dan gerakan muslim fundamentalis Indonesia.
Pada zaman khalifah Ali, perang saudara sedang berkecamuk
hebat antara kelompok Ali dan Muawiyyah. Kedua belah fihak bersengketa pendapat
tentang masalah pembunuhan Utsman dan masalah khilafah. Kelompok Ali
bersikeras mengangkat khalifah terlebih dahulu lalu menyelesaikan masalah
pembunuhan. Sedangkan kelompok Muawiyyah menuntut penyelesaian masalah
pembunuhan terlebih dahulu sebelum khalifah dipilih.
Karena masing-masing telah menjadi air dengan minyak,
maka rekonsiliasi-perdamaian tak berarti lagi. Sesama muslim itu saling bunuh.
Lalu damai dengan sistem tahkim.
Dalam keadaan runyam semacam ini Khawarij yang awalnya
masuk dalam golongan Ali keluar darinya dan muncul secara independen ke
permukaan sejarah klasik Islam. Dengan latar belakang kekecewaan mendalam atas
roman ganas dua kelompok yang berseteru dan slogan “La hukma illa allah”,
mereka berpendapat bahwa Ali dan Muawiyyah kafir dan halal darahnya. Kemudian
Ali mereka bunuh, sedangkan Muawiyyah masih tetap hidup karena pengawalan ketat
Adapun kemunculan gerakan muslim fundamentalis Indonesia,
selain karena penekanan, sebagaimana yang diutarakan di depan, adalah
karena ketidak stabilan sosial-politik, sebagaimana yang dialami oleh Khawarij
pada awal kemunculannya.
Pada akhir pemerintahan Suharto, Indonesia mengalami
krisis multi dimensi yang cukup akut. Bidang ekonomi, sosial, politik dan etika
semuanya parah. Sehingga masyarakat resah dan kepercayaan kepada pemerintah dan
sistemnya menghilang.
Hal ini dirasakan pula oleh golongan muslim
fundamentalis. Maka, setelah genderang reformasi ditabuh dan kebebasan
berkelompok terbuka lebar, mereka keluar dari persembunyian. Mendirikan
kubu-kubu, lalu berteriak mengkampanyekan penerapan syariat sebagai solusi
krisis.
Jadi, kemunculan kelompok muslim fundamentalis tak hanya
timbul karena faktor ideologis saja, seperti yang disebutkan muslim
fundamentalis. Faktor realitas sosial juga punya andil besar dalam
‘mengorbitkannya’. Bahkan ia mungkin mendahului faktor ideologis. Hingga tak
heran Mahmud Ismail mengatakan; “krisis radikalisme awalnya adalah krisis
realitas yang disusul oleh krisis pemikiran.”14? Atau dengan kata
lain; timbulnya gerakan muslim fundamentalis adalah karena merespon
keadaan realitas.
Namun, benarkah fenomena ini hanya merespon
realitas saja tanpa ambisi politik di belakangnya? Untuk membahas hal
itu, fenomena muslim fundamentalis perlu didekati dengan tinjauan politik.
Dalam tinjauan politik, fenomena muslim fundamentalis
sering disebut dengan Islam politik. Yaitu suatu gerakan sempalan umat Islam
yang menggunakan agama sebagai kendaraan politik untuk menggapai suara publik
dan kekuasaan, lalu berusaha mengganti sistem yang ada dengan sistem
Islam versi mereka. Seperti partai-partai politik Islam di Indonesia dan Ikwan
Muslimin di Mesir.
Bagi Farag Ali Faudah, fenomena ini adalah suatu problem
politik negara. Karena dengan kemunculannya; negara masuk dalam dialog
keagamaan, partai politik yang sejatinya tak berbasis agama—demi peraihan
suara—ikut-ikutan mempolitisir agama, dan konstelasi politik elite negara
dijejali dengan orang-orang awam politik.
Dengan istilah
lain, fenomena ini telah mengotori sakralitas dan religiusitas agama, dan telah
merancang sistem yang nonproporsional. Karena Islam yang sejatinya Tuhan
inginkan untuk dijadikan agama yang umum dan universal, telah disempitkan oleh
sekelompok muslim ke dalam lobang politik yang terbatas.
Tapi meski
fenomena ini menjadi problem politik negara, penulis pikir ia wajar saja muncul
atas nama kebebasan berkelompok dan berekspresi. Sebab, bila fenomena ini
ditekan apalagi ditindas, akibatnya mungkin lebih fatal bagi kehidupan
masyarakat. Oleh karena itu fenomena yang mengandung ambisi politik tersendiri
ini perlu diberi ruang gerak bebas, asal tidak memaksakan kehendak apalagi
mengancam keamanan dan kenyamanan.
Bersama tinjauan politik ini, fenomena muslim
fundamentalisme terlihat profan. Ide dan tindakannya juga demikian: tak lagi
atas nama Tuhan, agama dan umat, melainkan atas nama komoditas politik. Sebab,
faktor penimbulnya bukan lagi ideologi agama, melainkan respon terhadap
realitas sosial-politik yang dibarengi dengan ambisi kekuasaan.
Bila kenyataannya bersifat duniawi dan memproyeksi
realitas luar, adakah motivasi dari dalam, atau faktor kejiwaan lain—selain
faktor ideologis keagamaan—yang melatari kemunculannya? Kali ini,
psikologi perlu dijadikan optik. Menurut analisa psikologi, manusia punya
kecenderungan untuk membanding-bandingkan. Membandingkan diri sendiri dengan
orang lain, masa lalu dengan masa kini, dan lain serupanya.
Begitu juga dengan umat Islam secara umum dan golongan
muslim fundamentalis secara khusus. Mereka kerap membandingkan kemunduran diri
dengan kemajuan golongan lain dan/atau dengan kejayaan generasi lampau.
Sebagaimana yang tampak marak di tengah konstelasi wacana Timur Tengah semisal
bahasan tentang tradisi dan modernitas (M.Abid Al-Jabiri), tradisi dan
pembaruan (Hassan Hanafi), otentitas dan kekinian (Yusuf Qardlawi) dan lain
sebagainya.
Di tengah-tengah upaya perbandingan ini, umat Islam
berusaha maju. Dengan mengulang kejayaan masa lalu, atau meniru golongan
lain, atau membuang satu di antara keduanya, atau membuang keduanya dan
berkreasi sendiri.
Dalam memilih empat opsi ini, golongan muslim
fundamentalis lebih suka memilih pengulangan kejayaan masa lalu dan membuang
produk golongan lain. Hingga kemunculan mereka sering disebut dengan golongan
revivalis Islam. Yang berusaha mengembalikan ajaran Nabi Muhammad secara
literal dan kejayaan umat Islam klasik secara non-historis ke masa kekinian dan
kedisinian, serta berusaha untuk membuang hal-hal dari luar tradisi Islam
(baca: puritan).
Dari situ, kemunculan fenomena muslim fundamentalis dapat
dikatakan sebagai manifestasi dari dorongan psikologis yang membandingkan diri
lalu ingin maju. Perwujudannya merupakan respon dari perasaan mundur yang
dialami kaum muslimin.¹? Oleh karenanya, faktor psikologis merupakan faktor
lain yang cukup berperan dalam memunculkan fenomena muslim fundamentalis di
samping beberapa faktor lain yang telah disebut di depan.
Konklusi itu berikut konklusi pembahasan faktor-faktor
lain penimbul fenomena muslim fundamentalis, mengantarkan kita pada kesimpulkan
bahwa faktor penimbulnya tidak hanya satu. Akarnya beragam dan bercabang,
sehingga fenomena yang ditimbulkannyapun dapat di lihat dari pelbagai sisi.
Yang masih menjadi tanda tanya, bagaimana sikap
kita terhadap kemunculan fenomena yang akarnya beragam dan bercabang ini?
II. Sikap terhadap Muslim Fundamentalis
Di manapun dan kapanpun gerakan muslim fundamentalis
muncul sebagai suatu kelompok, seyogyanya kita hargai dengan lapang dada.
Karena berkelompok dengan orang-orang sealiran adalah hak asasi manusia.
Dan apapun ideologi yang mereka anut dan sebarkan,
seyogyanya kita biarkan hidup bebas pula. Sebab, menganut ideologi apapun, atau
tidak menganut ideologi apapun, dalam koridor kebebasan berpikir dan berekspresi,
sejatinya hak asasi manusia juga. Sebagaimana setiap manusia berhak untuk
beragama ataupun tidak beragama; bertuhan ataupun tidak bertuhan.
Namun bila hak kebebasan itu telah mereka salah gunakan
dalam kehidupan sosial-politik, maka pelanggaran itu perlu ditindak. Semisal
memaksa individu dan kelompok lain untuk menerapkan keyakinan dan konsep muslim
fundamentalis, tanpa kontrak sosial dan negosiasi yang jelas. Sebab, hal itu
telah menjurus pada pelanggaran hak asasi manusia dan telah menodai nilai
penting kontrak sosial dan konstitusi.
Dengan itu, kita dapat menyimpulkan bahwa sikap yang
seyogyanya kita terapkan untuk menghadapi timbulnya fenomena muslim
fundamentalis berikut pemikiran dan tindakannya adalah sikap terbuka dan
kritis, dengan kesiapan penuh untuk menindaknya secara tegas—dengan tangan
negara—bila melanggar hak-hak asasi manusia, keluar dari konstitusi dan kontrak
sosial, atau meresahkan kenyamanan dan keamanan masyarakat.
Beriringan dengan sikap kita dan kesempatan mereka itu,
maka orang-orang yang berpikiran liberal-inklusif bertugas untuk menghadirkan
pemikiran alternatif yang mencerahkan, agar terjadi keseimbangan. Adapun
kebenaran dan kemaslahatan pemikiran alternatif itu akan diuji dan diraih
dengan seleksi ‘alam’.
BAB
III
PENUTUP
Meski tak sempurna, makalah sederhana ini telah berusaha
untuk menjawab beberapa pertanyaan mendasar. Di antaranya ia telah
menjawab pertanyaan seputar maksud dari istilah muslim fundamentalis. Dengan
mendekati fenomena tersebut dari sisi istilah bahasa, sebagaimana metode
semantik mendekati suatu fenomena. Lalu mengurai basical meaning dan relational
meaning dari istilah muslim fundamentalis.
Ia juga telah menjawab pertanyaan sekitar pemikiran dan
tindakan muslim fundamentalis. Dengan menganalisa pikiran inti muslim
fundamentalis berikut landasan berpikir dan implikasi epistemologis dan
praktisnya, secara kritis. Lalu memberi kesimpulan bahwa pikiran dan
tindakan radikal muslim fundamentalis itu berakar pada ideologi yang mereka
yakini.
Tapi tulisan ini kurang setuju seratus persen dengan
kesimpulan itu. Ia kemudian berusaha merambah faktor-faktor lain yang
kemungkinan besar menimbulkan fenomena muslim fundamentalis. Ia dekati fenomena
ini dari aspek sosial, politik dan psikologi. Hingga ia dapat menyimpulkan
bahwa akar penyebab fenomena ini sejatinya beragam dan bercabang. Lalu ia
berusaha untuk menawarkan sikap yang berlandaskan pada konsep kebebasan
manusia, hak asasi manusia, dan kekuataan konstitusi dan kontrak sosial untuk
menghadapi kemunculan fenomena tadi
Dalam segala kesedarhanaannya, makalah ini sebenarnya tak
bertujuan muluk-muluk. Ia hanya ingin mengajak siapapun untuk terbuka dan
kritis dalam melihat, bersikap dan menghadapi suatu fenomena.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar