ANNYEONG HASSEO, WELLCOME to ELDA's World

Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Selasa, 14 April 2015

Cerpen : KERIKIL LANGIT



Awan pekat menutupi badan rembulan dan mengemasi ribuan bintang. Sunyi. Hanya suara cicak dan jam yang mendekap dinding. Pasti sudah sangat larut. Yang jelas lonceng sudah dibunyikan.
            Suara kaki kaku seorang junior menyusuri lorong asrama dan kemudian masuk di kamar salah satu seniornya.
            “Dasar kathok! Kau ini ulat bulu atau apa? Lelet sekali.” Seorang senior berbaring dengan segelas vodka di tangan kanan sedangkan jari kirinya mengapit rokok yang tinggal separuh.
            Junior itu tidak menjawab. Dan dengan wajah yang berantakan dia duduk lesehan disamping tempat tidur.
            “Dari atas ke bawah! Jangan berenti sebelum aku tertidur.” Dia meletakkan gelas yang isinya tinggal setetes, dan kemudian membalikkan tubuhnya.
            15 menit
            30 menit
            45 menit
            55 menit
            Sang senior masih belum tidur dan tetap dengan rokok menempel diantara jari tengah dan telunjuknya, tapi sekarang rokoknya masih utuh. Mungkin ini sudah kali kedua.
            “Aduh…!” Senior mengerang keras membuat junior yang terkantuk-kantuk itu tersentak kaget.
            “Hey!” Dia menghentakkan kakinya ke dada junior yang tengah memijit kakinya, membuat junior itu terpental.
            “Jangan cuma mijit aja. Perhatikan juga nyamuk yang menempel di kulitku! Ah… tidak berguna. Sudah untung kau tidak aku suruh menelan kotoranku.” Senior itu ganti posisi berbaring.
            Junior kathok itu bangkit. Dia mencari-cari sesuatu, dan kembali duduk di samping tempat tidur. Kali ini dia memijit seniornya sambil sesekali mengipasi badan gagah itu dengan sebuah buku yang kira-kira memiliki 24 halaman dengan gambar sampul angry bird. Adegan mereka kali ini mirip seorang penjual yang sedang mengipasi seonggok daging. Sambil memasang ekspresi cemas kalau-kalau para lalat mengerumuni dagingnya.
            Adegan yang berlangsung selama…
            5 menit
            30 menit
            45 menit, lebih
            Satu jam, hampir
            Behenti ketika tiba-tiba pintu kamar digedor dari luar.
            “Danpol Sandi!” Seorang nor dengan suara barito yang khas memanggil senior penghuni kamar yang sedang asyik massage. Si junior yang sedari tadi mengipas dan memijit sang senior sambil setengah tidur itu kaget dibuatnya.
            “Danpol Sandi, bukakan pintu! Kami ingin menyampaikan berita penting.” Nor itu meminta izin masuk. Tapi sekarang suaranya bukan barito lagi. Rupanya yang menggedor pintu tadi lebih dari satu orang.
            Junior tampak khawatir, dia mengedarkan pandangannya. Asbak dengan 4 puntung rokok diatas meja yang disandingkan dengan satu botol vodka, yang tinggal botol. Lalu dia melihat kearah Danpol Sandi yang memutar-mutar batang rokok kelimanya yang masih utuh, kemudian menghisapnya hingga asap berbentuk seperti donat keluar dari mulutnya. Wajahnya yang tetap relax tidak mengisyaratkan apapun.
            “Danpol Sandi!” Kini gedoran mereka makin keras, karena tak ada jawaban dari dalam.
            “Aku bisa mendengar suara kalian dari balik pintu. Katakana saja di sana. Aku sedang sibuk menghukum Wantok.” Jawabannya sangat tenang tanpa menunjukkan tanda-tanda bahwa dia sedang mabuk.
            “Kami ingin melaporkan kalau junior yang tadi berusaha kabur, ditemukan mati di kolam renang.” Senior bersuara barito menyampaikan dengan tegas.
            “Mati lagi?”
            “Diduga dia mati bunuh diri, Dan.”
            “Hmm… Baiklah, nanti aku turun.”
            Derap langkah yang berderu keras lama kelamaan terdengar lemah dan menghilang. Hening kembali.
            “Ah… Kalau begini sekolah kita bisa setiap hari masuk TV.” Danpol Sandi bicara sambil terkekeh. Wantok yang menjadi pendengar satu-satunya hanya bisa menunduk sendu.
            “Kemarin ada yang kesurupan, hari ini ada yang mati, besok? Hehe, besok pasti ada yang gentayangan.” Danpol Sandi menghisap rokoknya lagi. Sedangkan Wantok tetap tertunduk.
            “Hey, kau bisu ya?” Danpol Sandi menggoyang-goyangkan kaki. Karena di kakinya ada tangan Wantok. Ternyata tangan wantok sudah dua kali pulang pergi menyusuri seluruh tubuh seniornya itu.
            “Jangan membuatku bicara sendiri! Setidaknya berilah respon. Secukupnya saja.” Wantok lama terhening. Lalu dia bergumam lirih.
            “Dua teman saya mati dengan sepele. Mereka tidak sempat merengkuh cita-cita mereka.” Wajahnya semakin sendu.
            “Jangan cengeng!” Danpol Sandi geregetan. Dia duduk kemudian melayangkan tangannya ke kepala Wantok. Plakk…
            “Kalian saja yang bodoh! Ini hukum rimba, le. Kalau sudah tahu harusnya jangan sekolah di sini. Nggak kasian sama bapak mbokmu.” Dia menyandarkan punggungnya pada dua bantal yang ditumpuk. Jari kanannya disenggolkan pada ujung rokok sehingga abunya bertebaran ke lantai.
            “Kau boleh saja bangga jadi orang desa. Tapi jangan bawa mental tempemu ke kota.” Dia mengambil botol vodka dan hendak menuangkannya ke gelas. Tapi meletakkannya kembali setelah tahu botol itu kosong.
            “Kau lihat perwira-perwira kita itu?” Danpol Sandi menunjuk, tapi entah kearah mana dia menunjuk.
            “Mereka punya mobil. Ke asrama mobilnya gonta-ganti. Hari ini putih, besok hitam, besoknya lagi merah, kuning, hijau.” Danpol Sandi kembali terkekeh dengan ucapannya sendiri.
            “Dulunya mereka ya seperti ini. Seperti kita. Dihajar sama senior, dihukum sama perwira. Malah lebih parah.”
            “Ada juga yang anak petani macam kamu. Ah, tapi tetap beda. Mereka petani kota, lha kamu petani desa.”
            “Petani ya petani, Dan. Sama-sama menanam padi. Beras hasil panennya juga nggak dikasih stempel ‘beras kota’ atau ‘beras desa’. Jadi ya nggak beda.” Wantok yang mulai merasa tertarik dengan perkatakan Danpolnya itu menjawab.
            Kali ini Danpol Sandi bukan terkekeh lagi. Dia membuka mulutnya lebar-lebar sambil memegangi perutnya.
“Ya yang jelas mereka nggak mati bunuh diri. Mereka hidup sukses. Kenapa hayo?” Danpol Sandi kembali bicara ketika tawanya sudah mulai reda.
“Kenapa, Dan?”
“Karena cintanya pada tanah air yang begitu tinggi. Tinggi…. Tinggi sekali.” Dia mengayun-ayunkan tangannya ke atas dengan mata terpejam.
“Hubungannya, Dan?”
“Kecintaan terhadap tanah air itu menjadi motivasi untuk mereka, untuk tetap bertahan, untuk berjuang, sehingga mereka dapat membela tanah air.” Kata-kata serius, tapi tidak diucapkan dengan ekspresi serius itu tetap saja menarik untuk Wantok. Dengan antusiasme tinggi dia menyaksikan Danpolnya itu berkhotbah.
“Kau cinta tanah air tidak?”
“Tentu saja, Dan.” Jawab Wantok bersemangat.
“Buktikan!”
“Maksudnya, Dan?”
“Kalau kau memang mencintai tanah air dan bumi pertiwi yang kau pijaki ini, maka ciumlah.”
Wantok tanpa dikomando dua kali, langsung melakukan perintah yang dikatakan oleh Danpolnya itu. Danpol Sandi hanya tertawa geli melihatnya.

1 komentar: