Awan
pekat menutupi badan rembulan dan mengemasi ribuan bintang. Sunyi. Hanya suara cicak
dan jam yang mendekap dinding. Pasti sudah sangat larut. Yang jelas lonceng
sudah dibunyikan.
Suara kaki kaku seorang junior menyusuri lorong asrama dan
kemudian masuk di kamar salah satu seniornya.
“Dasar kathok! Kau ini ulat bulu atau apa? Lelet sekali.”
Seorang senior berbaring dengan segelas vodka di tangan kanan sedangkan jari
kirinya mengapit rokok yang tinggal separuh.
Junior itu tidak menjawab. Dan dengan wajah yang
berantakan dia duduk lesehan disamping tempat tidur.
“Dari atas ke bawah! Jangan berenti sebelum aku
tertidur.” Dia meletakkan gelas yang isinya tinggal setetes, dan kemudian
membalikkan tubuhnya.
15 menit
30 menit
45 menit
55 menit
Sang senior masih belum tidur dan tetap dengan rokok
menempel diantara jari tengah dan telunjuknya, tapi sekarang rokoknya masih
utuh. Mungkin ini sudah kali kedua.
“Aduh…!” Senior mengerang keras membuat junior yang
terkantuk-kantuk itu tersentak kaget.
“Hey!” Dia menghentakkan kakinya ke dada junior yang
tengah memijit kakinya, membuat junior itu terpental.
“Jangan cuma mijit aja. Perhatikan juga nyamuk yang menempel
di kulitku! Ah… tidak berguna. Sudah untung kau tidak aku suruh menelan kotoranku.”
Senior itu ganti posisi berbaring.
Junior kathok itu bangkit. Dia mencari-cari sesuatu, dan
kembali duduk di samping tempat tidur. Kali ini dia memijit seniornya sambil
sesekali mengipasi badan gagah itu dengan sebuah buku yang kira-kira memiliki
24 halaman dengan gambar sampul angry bird. Adegan mereka kali ini mirip
seorang penjual yang sedang mengipasi seonggok daging. Sambil memasang ekspresi
cemas kalau-kalau para lalat mengerumuni dagingnya.
Adegan yang berlangsung selama…
5 menit
30 menit
45 menit, lebih
Satu jam, hampir
Behenti ketika tiba-tiba pintu kamar digedor dari luar.
“Danpol Sandi!” Seorang nor dengan suara barito yang khas
memanggil senior penghuni kamar yang sedang asyik massage. Si junior yang
sedari tadi mengipas dan memijit sang senior sambil setengah tidur itu kaget
dibuatnya.
“Danpol Sandi, bukakan pintu! Kami ingin menyampaikan berita
penting.” Nor itu meminta izin masuk. Tapi sekarang suaranya bukan barito lagi.
Rupanya yang menggedor pintu tadi lebih dari satu orang.
Junior tampak khawatir, dia mengedarkan pandangannya.
Asbak dengan 4 puntung rokok diatas meja yang disandingkan dengan satu botol
vodka, yang tinggal botol. Lalu dia melihat kearah Danpol Sandi yang
memutar-mutar batang rokok kelimanya yang masih utuh, kemudian menghisapnya
hingga asap berbentuk seperti donat keluar dari mulutnya. Wajahnya yang tetap
relax tidak mengisyaratkan apapun.
“Danpol Sandi!” Kini gedoran mereka makin keras, karena
tak ada jawaban dari dalam.
“Aku bisa mendengar suara kalian dari balik pintu.
Katakana saja di sana. Aku sedang sibuk menghukum Wantok.” Jawabannya sangat
tenang tanpa menunjukkan tanda-tanda bahwa dia sedang mabuk.
“Kami ingin melaporkan kalau junior yang tadi berusaha
kabur, ditemukan mati di kolam renang.” Senior bersuara barito menyampaikan
dengan tegas.
“Mati lagi?”
“Diduga dia mati bunuh diri, Dan.”
“Hmm… Baiklah, nanti aku turun.”
Derap langkah yang berderu keras lama kelamaan terdengar
lemah dan menghilang. Hening kembali.
“Ah… Kalau begini sekolah kita bisa setiap hari masuk
TV.” Danpol Sandi bicara sambil terkekeh. Wantok yang menjadi pendengar
satu-satunya hanya bisa menunduk sendu.
“Kemarin ada yang kesurupan, hari ini ada yang mati,
besok? Hehe, besok pasti ada yang gentayangan.” Danpol Sandi menghisap rokoknya
lagi. Sedangkan Wantok tetap tertunduk.
“Hey, kau bisu ya?” Danpol Sandi menggoyang-goyangkan
kaki. Karena di kakinya ada tangan Wantok. Ternyata tangan wantok sudah dua
kali pulang pergi menyusuri seluruh tubuh seniornya itu.
“Jangan membuatku bicara sendiri! Setidaknya berilah
respon. Secukupnya saja.” Wantok lama terhening. Lalu dia bergumam lirih.
“Dua teman saya mati dengan sepele. Mereka tidak sempat
merengkuh cita-cita mereka.” Wajahnya semakin sendu.
“Jangan cengeng!” Danpol Sandi geregetan. Dia duduk
kemudian melayangkan tangannya ke kepala Wantok. Plakk…
“Kalian saja yang bodoh! Ini hukum rimba, le. Kalau sudah
tahu harusnya jangan sekolah di sini. Nggak kasian sama bapak mbokmu.” Dia
menyandarkan punggungnya pada dua bantal yang ditumpuk. Jari kanannya
disenggolkan pada ujung rokok sehingga abunya bertebaran ke lantai.
“Kau boleh saja bangga jadi orang desa. Tapi jangan bawa
mental tempemu ke kota.” Dia mengambil botol vodka dan hendak menuangkannya ke
gelas. Tapi meletakkannya kembali setelah tahu botol itu kosong.
“Kau lihat perwira-perwira kita itu?” Danpol Sandi
menunjuk, tapi entah kearah mana dia menunjuk.
“Mereka punya mobil. Ke asrama mobilnya gonta-ganti. Hari
ini putih, besok hitam, besoknya lagi merah, kuning, hijau.” Danpol Sandi
kembali terkekeh dengan ucapannya sendiri.
“Dulunya mereka ya seperti ini. Seperti kita. Dihajar
sama senior, dihukum sama perwira. Malah lebih parah.”
“Ada juga yang anak petani macam kamu. Ah, tapi tetap
beda. Mereka petani kota, lha kamu petani desa.”
“Petani ya petani, Dan. Sama-sama menanam padi. Beras
hasil panennya juga nggak dikasih stempel ‘beras kota’ atau ‘beras desa’. Jadi
ya nggak beda.” Wantok yang mulai merasa tertarik dengan perkatakan Danpolnya
itu menjawab.
Kali ini Danpol Sandi bukan terkekeh lagi. Dia membuka
mulutnya lebar-lebar sambil memegangi perutnya.
“Ya
yang jelas mereka nggak mati bunuh diri. Mereka hidup sukses. Kenapa hayo?”
Danpol Sandi kembali bicara ketika tawanya sudah mulai reda.
“Kenapa,
Dan?”
“Karena
cintanya pada tanah air yang begitu tinggi. Tinggi…. Tinggi sekali.” Dia
mengayun-ayunkan tangannya ke atas dengan mata terpejam.
“Hubungannya,
Dan?”
“Kecintaan
terhadap tanah air itu menjadi motivasi untuk mereka, untuk tetap bertahan,
untuk berjuang, sehingga mereka dapat membela tanah air.” Kata-kata serius,
tapi tidak diucapkan dengan ekspresi serius itu tetap saja menarik untuk Wantok.
Dengan antusiasme tinggi dia menyaksikan Danpolnya itu berkhotbah.
“Kau
cinta tanah air tidak?”
“Tentu
saja, Dan.” Jawab Wantok bersemangat.
“Buktikan!”
“Maksudnya,
Dan?”
“Kalau
kau memang mencintai tanah air dan bumi pertiwi yang kau pijaki ini, maka
ciumlah.”
Wantok
tanpa dikomando dua kali, langsung melakukan perintah yang dikatakan oleh
Danpolnya itu. Danpol Sandi hanya tertawa geli melihatnya.
suka deh baca blog ini
BalasHapusElever